Title: #NLS
“Princess Nose And True Love” {Part 10}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Author pov_
Christie pun terpaksa meninggalkan Taylor sebelum
memberikan jawabannya, dan entahlah ia akan memberitahu yang
sebenarnya atau justru terus menutupinya.
“dr. Lautner, bagaimana keadaan pasien tetapmu saat
ini?”.
“maksud anda Mrs.Sherine?”.
“ya, siapa lagi? Pasien termuda dalam sejarah rumah
sakit ini yang mengalami Kanker Nasofaring. Bagaimana
perkembangannya? Aku takut jika ia tetap bersikukuh tak mau melawan
penyakit ganas itu, ia akan.... kehabisan waktu”.
“apa? Tapi ia baru stadium satu”. Taylor tak sampai
berfikir sejauh itu, Sherine memang terlihat tak ingin sembuh, ia
begitu pasrah akan penyakit yang menggerogotinya.
“dr.Lautner, tentunya kau tau, jika kanker itu tak
cepat diatasi maka sel-sel kanker itu akan menjalar sampai keseluruh
tubuh. Aku yakin kau tak mau sampai itu terjadi pada pasienmu itu,
maka dari itu, aku harap kau mampu membantu membangkitkan semangatnya
untuk sembuh total”. Jelas dr.Cullen. Ya, itulah tugas besar
Taylor, membantu Sherine agar ia mau melakukan perlawanan pada
penyakitnya, jika hanya melakukan Kemoterapi dan Radioterapi saja tak
cukup apabila si pasien tak ada keinginan untuk berusaha sembuh, 'ya,
lagi-lagi kembali pada pria itu, dialah satu-satunya yang mampu
mengubah jalan fikir Sherine'. Batin Taylor.
“dan setelah kau lakukan Kemoterapi minggu depan, aku
ingin kau menyerahkan hasil rontgennya padaku”.
“baik, doctor”.
“dan ingat, jangan kau sertakan urusan pribadimu
kedalam pekerjaanmu itu”. Akhirnya sebelum meninggalkan Taylor yang
tiba-tiba merasakan sebuah getaran dalam saku celananya.
“aku tak akan mengulanginya lagi, doctor”.
Taylor mengeluarkan benda yang bergetar tadi dari dalam
sakunya. Pesan dari Christie.
'you can search him on google'.
Isi pesan itu membuat Taylor mengerutkan keningnya, tapi
disisi lain ia merasa menang karena dapat membuat kekasihnya itu
membuka mulut tentang mantan kekasih sahabatnya itu. Tapi Taylor
masih tak mengerti maksud pesan itu, “memangnya dia siapa sampai
dengan mudah aku bisa mencarinya di google?”. Bisik Taylor, yang
kemudian sadar, bahwa orang yang ingin ia seret ini sepertinya bukan
orang sembarangan.
_Author pov End_
~NLS~
_Niall pov_
Jarum yang terdapat dalam arlojiku bergeser melewati
angka dua belas, yang artinya sudah masuk tengah malam. Aku duduk
menyendiri di bawah pohon besar yang berdiri tepat di depan rumahku,
di temani secangkir hot chocolate yang membantu menyelimuti dinginnya
malam dan sisa pizza Liam dan Harry yang ku bawa pulang tadi, juga
sebuah gitar di pangkuanku yang kumainkan sambil bernyanyi sendiri.
Aku tertawa sendiri kini, mentertawakan yang ku lakukan
saat ini. Aku menunggunya, menunggu Sherine pulang sampai tengah
malam begini? Aku teringat kejadian sore tadi, sebelum aku dan
teman-temanku memutuskan untuk menggagalkan rencana kami, yakni
makan-makan besar di luar, dan akhirnya hanya memesan Pizza delivery
saja. Taylor, apa yang ingin ia bicarakan padaku? Apa ia akan
melarangku untuk mendekati Sherine? Atau memintaku untuk melupakan
Sherine selamanya?
Aku tau hubungan mereka semakin dekat, sangat dekat
malah. Dengan Sherine yang kudengar sering menginap dirumah Taylor,
dan saat di telfon tadi sore, bahkan Taylor bilang sendiri pada Harry
bahwa Sherine sedang tertidur dihadapannya. Jika dibandingkan dengan
hubungan kami dulu, Sherine tak akan mau tidur di kamarku jika kami
hanya berdua dirumah, mungkin kami hanya mengisi waktu luang di ruang
tengah seraya menikmati tayangan televisi sambil menghabiskan
tumpukan beberapa snack yang aku punya.
Sherine, apa aku bisa melupakanmu? Aku tau aku pria
bodoh, aku begitu mudah memaafkanmu yang memainkan perasaanku saat
itu. Kau bilang kau hanya sekedar suka padaku, lalu apa yang telah
kau berikan padaku selama hampir dua tahun itu, kenapa saat aku
mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu untuk yang pertama kalinya,
di hadapan directionersku beberapa tahun silam, saat itu kau bilang
kau juga? Aku bilang Aku mencintaimu, Sher. Bukan Aku menyukaimu.
Lalu kau membuat keputusan itu seenakmu, dan bodohnya
aku menerima bahkan menyanggupi keputusanmu itu, sampai aku berfikir
bahwa aku juga memang sekedar suka padamu, aku sekedar suka padamu
saat setelah kau mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu.
Sekarang, disaat aku menyadari kebodohanku atas
kebodohanmu, kau malah berlari jauh dariku, kau malah menyakitiku
semakin dalam. Kau begitu mudah membuka hatimu dengan orang lain yang
tak lebih dari satu tahun kau kenal. Ketimbang aku yang sudah lebih
dari dua tahun kau kenal. Tapi kenapa kau tak membukanya untukku?
Kenapa kau tak mencintaiku? Kenapa kau membohongi persaanmu padaku
selama dua tahun itu?
Mataku sudah beberapa kali terpejam dan terbuka, aku
mulai mengantuk. Makananku juga sudah habis. Hot chocolateku sudah
dingin, dan aku tak suka meminum hot choclate yang dingin, hingga ku
putuskan untuk berhenti menunggunya. Aku tau ia pasti tak akan pulang
lagi hari ini, tentu saja, bodohnya kau Niall, ia bersama Taylor lagi
bukan?
Aku berdiri, menghampiri rumah yang berdiri tepat di
sebelah kiriku, menaiki beberapa anak tangga untuk sampai tepat pada
daun pintu rumahnya seraya mencari sesuatu didalam saku celana ku,
sepucuk surat. Ku selipkan sepucuk surat itu di bawah pintunya. Kuno,
ya aku tau ini cara kuno, tapi jika ia sudah pulang sedari tadi dan
handphonenya tetap aktif, aku akan bicara padanya langsung. Atau
besok, tapi tak bisa, didalam surat itu aku juga mengatakan padanya
bahwa mulai besok aku akan tinggal di flat dan lebih sering ke luar
negeri untuk pekerjaanku bersama One Direction, persiapan Tour album
terbaru kami.
“kau harus membacanya, Sher”. Desisku sendiri seraya
memandangi surat itu yang kini sudah tergeletak tenang di lantai.
_Niall pov End_
~NLS~
_Sherine pov_
Aku menatap gadis yang sedikit lebih tua dari ku itu
dengan tatapan membidik, agar ia menyadari kesalahannya. Aku tau aku
dilarang bertemu Taylor sampai hari dimana aku akan melakukan
'ritual' lagi, tapi aku memaksanya untuk menyeret Tay ke ruanganku
sekarang juga. Christie ku paksa untuk menelfon Taylor dengan alasan
kondisiku yang menurun drastis, dan benar saja, Tay sampai lebih
cepat dari dugaanku.
Terkejut ia didapatinya aku duduk di sofa dengan tatapan
yang sama dengan tatapan yang kuberikan pada Christie tadi, “kau
sudah tau tentang dia? Kau sudah mencari taunya?”. Sambarku yang
tak membiarkannya untuk mengatur nafasnya dahulu.
Ia terdiam sesaat, lalu nampak mencari sesuatu. Taylor
meraih remote tv dan mencari channel yang sedang memutar video clip
Little Thing dari One Direction, dan tepat pada bagian lirik Niall.
“ya, aku tau siapa ia sekarang, dan aku akan
memberitahu semua padanya sekarang juga”. Serunya.
Aku berdiri dan merebut remote itu dari tangannya,
menekan tombol berwarna merah sehingga layar televisi itu berubah
gelap, seolah aku tak mau ia tau apa yang akan aku bicarakan pada
Taylor, walaupun itu hanya gambarnya di televisi tadi, “sudah
kukatakan! Aku yang akan mengatakannya sendiri, aku bisa mengurus
masalahku sendiri, Tay”.
“kau tak bisa mengatasinya sendiri, Sher! Kau lihat
sekarang keadaanmu saat ini, apa sudah kau atasi?”.
“untuk kali ini, jangan kau campuri urusanku, Taylor
Lautner!”.
“aku tak mencampuri urusanmu, Sher. Tapi aku melakukan
pekerjaan yang seharusnya kukerjakan. Menolong pasienku, Mrs. Sherine
Arifa”. Tay langsung meninggalkan ruanganku bersamaan dengan
kepalaku yang tiba-tiba di penuhi kunang-kunang dan lemas yang tak
dapat ku lawan lagi. Aku terjatuh. Dengan sergap Christie menopang
tubuhku agar tak membentur lantai, kini bergema kudengar teriakan
Christie memanggil nama Taylor, dan samar-samar kulihat bayangan
lelaki itu tiba di hadapanku dan menggendongku entah kemana. Hanya
gelap gulita yang kulihat kini.
~NLS~
Bayang wajah yang bagaikan seorang malaikat, menatapku
dengan sorot mata biru penuh kelembutan, senyuman khas yang menawan,
tak mampu menutup rapat deretan gigi-gigi besarnya yang terhalang
besi.
Apa ini akhir hidupku? Apakah ia malaikat pencabut
nyawaku? Jika iya, bolehkah ia mencabut nyawaku sekarang juga? Dan
biarkan ia selalu berada disampingku selamanya.
Cahaya putih di belakangnya semakin menyilaukan, membuat
mataku tak mampu lagi menahan perih karena menatapnya lebih lama, aku
tak rela meski akhirnya aku terpejam juga, merekatkan pelupuk mata
ini sekuat tenaga karena cahaya itu masih menuskku.
“Mrs.Arifa, kau sudah siuman?”. Seorang dokter yang
cukup ku kenal itu menyapaku saat aku membuka perlahan mataku.
Dr.Cullen mematikan lampu senter kecilnya, kemudian
memeriksa denyut nadiku.
Aku memalingkan wajahku amat perlahan ke kanan dan
kekiri, mencoba menangkap sesuatu yang sudah terbayang dalam benakku,
“ada apa Mrs.Arifa? Kau mencari dokter favoritemu, dr.Lautner?”.
Seru dr.Cullen seolah mengerti maksudku, seraya berkutat dengan
lembaran kertas di atas papan serta pena yang ada pada genggamannya.
Aku tak bisa menjawab, entah kenapa suaraku berat untuk
kukeluarkan, “jangan di paksa Mrs.Arifa, aku memang sudah
memberikan obat pengurang rasa sakit untuk ronggamu, dan efek itu
hanya sementara saja, sebentar lagi juga akan hilang”.
Aku kembali mengingat mimpiku saat ruhku terlepas dari
tubuhku ini. Malaikat itu begitu mirip dengan Niall, atau memang itu
Niall? Rasa rindu yang teramat dalam membuatku sering memikirkan dan
memimpikannya. Setelah melihat wajah itu, aku selalu merasa terlahir
kembali dan merasa menjadi Sherine yang memang terlahir untuk Niall.
Tapi saat aku terbangun, aku sadar, dia terlahir bukan untukku.
“hahh, selesai. Kau pingsan lebih lama dari sebelumnya
Mrs.Arifa, dan kau tau? Lusa kau akan menjalani Kemoterapi, maka
jagalah fisikmu,”. Mataku yang berat menatapnya tak percaya, selama
empat hari aku tak sadarkan diri.
“dan ku harap si Lautner itu berhasil membawa
seseorang yang katanya akan mampu membantumu melewati semua ini”.
Sekali lagi aku terkejut atas penuturannya, apa maksudnya? Siapa yang
akan Taylor bawa? Apakah..
“Ohh Sherine.. kenapa kau tak pernah cerita padaku
kalau kau dan Niall Horan memiliki hubungan spesial? Dia dari One
Direction bukan? kau tau, Anakku sangat menyukainya, lain kali kau
harus membawanya kepada anakku, dan....”. Si Cullen itu terus
berkoar menceritakan kesukaan sampai kefanatikan anaknya kepada Niall
dan kawan-kawan. Aku ingat keluhan Taylor tentang si cullen ini, yang
selalu tertib pada peraturan, tapi sekarang sepertinya ia lupa pernah
membuat peraturan itu.
Aku terus mendengarkannya namun tak benar-benar
mendengarkan, aku berharap ia cepat menyelesaikan ceritanya lalu aku
bisa keluar dari rumah sakit ini dan mentoyor habis si bodoh Lautner
itu.
“... ya, begitulah anakku. Umm.. aku akan kembali lagi
nanti, beristirahatlah, Mrs.Arifa”. Akhir si Cullen sebelum menutup
rapat pintu kayu berwarna coklat marun itu.
Sekuat tenaga kuangkat tangan kananku agar mampu meraih
selang yang masuk kedalam pergelangan tangan kiriku. Menahan rasa
sakit yang mengilukan saat mengeluarkan jarum yang menembus kulit
ini. Mengangkat tubuh ini yang baru kusadari amat sangat berat,
mencoba turun dari ranjang dan meraih pengait pintu itu, “aku tak
akan membiarkanmu mengatakan padanya, Tay”. Ucapku lirih setelah
berhasil keluar dari ruangan bernomor pintu 501 itu.
~NLS~
“stop here, please”. Pintaku pada pengemudi taksi
yang mengantarku dari rumah sakit Princess Grace sampai tiba di
rumahku.
Ku dapati Taylor didepan rumah Niall, sepertinya ia baru
tiba. Buru-buru ku menghampirinya, walaupun kenyataanya tetap saja
tak bisa, tergopoh-gopoh aku berjalan, seperti berjalan dengan kaki
yang terikat suatu benda yang berat sehingga sedikit sulit untuk ku
melangkah.
Sedikit lega saat aku sampai di depan rumah Niall, yang
ku dapati lampu depannya menyala. Aku menepuk pundak Taylor, hingga
membutanya terbelalak kaget, didapatinya aku masih dengan pakaian
rumah sakit, kini berdiri sedikit membungkuk dihadapannya, “Sherine!
Are you crazy!”.
“kau yang gila! Kau bodoh! Kau tuli! Sudah ku katakan
yang keberapa kalinya, Tay. Aku yang akan mengatakannya sendiri”.
Sambarku lirih. Walau ku tau ini tak bisa namun ingin sekali aku
mencoba teriak sebisa mungkin agar ia bisa mendengarnya lebih jelas
lagi, hingga tak melakukan hal bodoh ini lagi.
“tidak, aku harus mengatakannya sekarang juga. Hey!!
kau yang didalam! Niall Horan! Keluar kau!”. Taylor mengetuk pintu
itu kasar, sampai tetangga disekitar kami yang jaraknya tidak terlalu
jauh pun memandangi kami yang seperti seorang anti fans dari Niall
Horan.
“Taylor, hentikan teriakanmu, dia tak ada dirumahya.
Lampunya menyala”.
Taylor seketika mendongak melihat lampion putih yang
menyala di atasnya, dan kemudian kembali menatapku, “okay, mungkin
aku akan mengatakannya nanti..”.
“no Tay, no.”. Potongku. Aku meraih tangan kirinya,
menggenggamnya erat seolah memintanya untuk diam sejenak.
“dengar, okay aku akan berusaha untuk sembuh dari
penyakit ini, tapi kau harus berjanji padaku tak akan melakukan hal
sebodoh ini lagi, dan jangan pernah mengatakan padanya tentang kanker
ini, aku tak akan segan-segan untuk meninjumu jika kau berani
menemuinya lagi”. Lanjutku, menekan setiap kata demi katanya.
Namun Tay malah menggeleng pasti. Ia melepaskan
genggamanku, “tidak, aku tidak mau, Sher. Aku harus memberitahunya
bahwa kau.. “.
“aku yang akan mengatakannya sendiri, Taylor. Aku akan
mengatakan itu jika aku sembuh, aku pasti mengatakannya”. Potongku
lagi dengan Suara yang hampir melengking karena begitu berusahanya
aku untuk mengusir serak ini.
Taylor terdiam lama, entah apa yang ia pikirkan, mungkin
mencari kejujuran dari raut wajahku, “kau berjanji?”.
“aku akan berjanji jika kau juga berjanji”. Dan
akhirnya ia mengangguk lembut.
Aku berkutat pada fikiranku sendiri, menyadari bahwa aku
baru saja berjanji yang entah aku bisa menepatinya atau tidak, hanya
kata maaf yang aku yakin tak bisa kukatakan langsung pada Taylor.
Mungkin aku akan berusaha untuk sembuh, tapi tidak untuk mengatakan
persaanku pada Niall, juga alasanku memutuskannya dahulu. Karena tak
mungkin aku menghancurkan kebahagiannya lagi untuk kedua kalinya
hingga berdampak negative pada hubungan Niall dengan Demi nantinya.
Maafkan aku Tay.
“okay, sekarang ayo kembali kerumah sakit, Mrs.Arifa”.
Ia memberikan senyuman untuk pertama kalinya setelah beberapa hari
kami berseteru. Aku membalas senyumnya, ia menggandengku menuju
motornya yang terparkir tepat di depan rumahku.
Sejenak aku merasakan kerinduan pada rumahku sendiri,
rumah yang berdiri tegak tepat disamping sebuah rumah yang
penghuninya juga tak kalah kurindukan. Aku tersenyum sesaat, setelah
akhirnya kudapati sesuatu yang ganjil tepat berada di bawah pintu
rumahku. Aku mengernyitkan mataku, “sebentar, Tay. Boleh aku
pulang? Aku ingin mengambil sesuatu didalam”. Pintaku.
“okay, kuantar”.
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 11 ;)