Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 9}
Author: @Fathimah_Haddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Author pov_
Taylor membantu Sherine mengatur posisi ranjangnya agar
ia bisa bersandar, “ Aku belum siap jika ia mengetahui semua ini
sekarang. Jika suatu saat ia memang perlu tau tentang ini, itu bukan
dari mulutmu, aku sendiri yang akan memberitahunya”. Lanjut
Sherine.
“perlu? harus, Sher! Ia harus tau kondisimu saat ini,
dan kapan kau akan memberitahunya? Setelah semuanya sudah terlambat?
Tidak, Sher. Itu akan membuatnya semakin berdosa padamu, ia akan
merasa tak berguna untukmu”. Sambar Taylor yang terus menatap lurus
Sherine.
“berdosa? Of course, No. Ia tak mungkin seperti itu,
ia sudah tak mencintai aku lagi kok, kan sudah kukatakan, ia sudah
memiliki gadis lain di hatinya, dan aku bahagia akan itu”. Sherine
masih menjawabnya dengan lembut, mencoba mengimbangi kondisinya saat
ini pasca menjalani radioterapi pagi tadi.
“bahagia? Kau sakit dan menutupi sakitmu itu dengan
mengorbankan cintamu kau bilang kau bahagia?”. Taylor mendengus
mencengkram hebat ujung rambutnya, tak habis pikir bahwa Sherine
terus membohongi perasaannya sendiri.
“Sherine, aku memang tak tau ia seperti apa, sosoknya
seperti apa, bagaimana sifatnya, tapi aku tau satu hal tentangnya.
Aku yakin ia masih mencintaimu, Sher”. Ucap Taylor yang kini
melembut, menatap peri kecilnya lurus, seakan ia sudah mengenal dekat
dengan Niall.
Taylor memang tak tau sama sekali tentang Niall, bahkan
tentang One Direction. Salah satu persoil 1D yang ia tau hanyalah
Harry, karena tak sedikit yang membicarakan ia dimana-mana. Mungkin
Taylor juga tak menyadari bahwa tadi ia berbicara dengan Harry One
Direction lewat telfon. Taylor memang tak begitu update tentang music
atau dunia hiburan, yang ia tau hanyalah news dan dunia kesehatan.
Karena itu, sulit untuk Taylor mencari tau siapakah
Niall yang Sherine maksud, ia juga tak memiliki banyak waktu untuk
mencari pria itu karena jadwal kerjanya yang cukup padat. Tentu bukan
hanya Sherine sajalah pasiennya. Tapi bisa saja ia bertanya langsung
pada Sherine tentang pria itu dan keberadaannya. Tapi itu mustahil,
karena Sherine tak memberikan secuilpun informasi keberadaan Niall,
bahkan Taylor juga tak tau sampai saat ini siapakah penghuni rumah
disamping rumah Sherine.
“bagaimana kau bisa bicara seperti itu sedangkan kau
tak pernah mengenal ataupun melihatnya?”. Kata Sherine
menyepelekan.
“entahlah, kurasa aku melihatnya lewat matamu, aku
melihat sosok lain dimatamu”. Jawab Taylor kembali menatap lurus
Sherine, mencerna betapa indahnya warna mata pasiennya itu.
Taylor keluar sebentar, dan kembali dengan membawa
segelas air dan beberapa bungkus yang sepertinya bungkus obat-obatan.
Taylor memberikan pil juga segelas air untuk Sherine, pil yang memang
harus diminum sebelum ia makan, Sherine berusaha keras menelannya,
karena ia harus menelan tiga pil sekaligus.
“hhuh.. sudahlah, Tay. Lagi pula ia sudah memiliki
seseorang yang mencintainya saat ini, dan itu sudah lebih dari cukup
bagiku”. Sahut Sherine sambil menyerahkan kembali gelasnya pada
Taylor.
Kini Taylor sudah terlalu geregetan dengan sikap Sherine
yang selalu memalingkan dan mencoba menghilangkan perasaannya itu,
“lagi pula? Itu artinya kau masih mencintainya, Sher. Kau tau itu
tapi kau tak mau menunjukkan itu padanya dan tak mau mencoba untuk
mempertahankan cintamu. Disaat seseorang yang dengan susah payah
mencari cinta sejati, kau malah membiarkan cinta sejatimu pergi, ada
apa denganmu?”.
Taylor sudah naik pitam, ia memang sering membujuk
Sherine untuk tidak membuat suatu rahasia kepada siapapun tentang
kondisi juga persaannya, tapi kali ini ia seperti memaksa Sherine
untuk melakukan perintahnya, untuk membongkar itu semua, tak ada lagi
yang namanya rahasia.
“aku mohon, Tay. Jangan paksa aku, aku bisa memilih
jalan hidupku sendiri”. Sanggah Sherine, mengalihkan pandangannya
dari tatapan ganas Taylor.
“fine! dan kuharap kau tak salah mengambil jalan”.
Ucap Taylor pergi dari hadapan gadis itu, ia kembali putus asa,
karena lagi-lagi ia gagal membujuk Sherine untuk memberitahukan
semuanya pada pria yang kini Taylor tak tau keberadaannya itu.
“Taylor!”. Tahan Sherine, mencoba menahannya, namun
justru Sherine yang telah ditahan oleh selang infus yang jarumnya
masuk ke dalam kulit putih tangannya.
“jangan mencoba untuk menemuiku sampai 'ritual' minggu
depan”. Akhir Taylor sebelum membanting pintu.
Sherine tau, Taylor pasti marah padanya. Setiap membahas
masalah itu, Taylor memang selalu kalah dalam pertarungan
perdebatannya bersama Sherine. Itu karena Taylor tak ingin
memperburuk kondisin Sherine, Taylor ingin Sherine memfokuskan
kondisinya sekarang yang dibilang sama sekali tidak baik ini. Tapi
disisi lain jika sudah menyangkut masalah pribadi Sherine itu, entah
kenapa Taylor tak mau membiarkan Sherine terluka pula hatinya, walau
ia sendiri tau ia tak berhak mencampuri urusan Sherine ini.
Taylor selalu berharap, suatu saat dengan sendirinya ia
bisa bertemu dengan Niall yang ia tak tau wujudnya seperti apa dan
menceritakan semuanya tanpa harus meminta izin Sherine, ia sudah muak
melihat Sherine yang seolah-olah tak punya harapan lagi untuk
mempertahankan cintanya. Padahal selama ini ia bisa berusaha kuat
menerima penyakit yang bersarang di tubuhnya, kenapa tidak dengan
cintanya?
~NLS~
Pria berjas putih itu kini menulusuri koridor rumah
sakit, matanya menatap lurus ujung sepatu pantofel hitamnya, serta
kedua tangan yang sengaja ia selipkan di saku celana. Pikirannya tak
ikut bersama tubuhnya yang menatap dindin-dinding, lantai, maupun
atap koridor.
Pria itu, Taylor Lautner kini tengah mengatur kalut
fikiran yang baru saja kacau. Sherine lagi difikirannya sekarang,
entah dengan cara apa lagi ia bisa melunakkan hati gadis keras kepala
itu. Ingin sekali mencoba, tapi apa daya, ia kembali ingat bahwa ia
tak ada hak untuk mengatur hidup Sherine, mengubah jalan yang sudah
Sherine pilih. Hanya saja ia kembali melihat kondisi Sherine saat
ini, mungkin Sherine akan lebih meningkat skala persen penyembuhannya
jika pria yang tak Taylor tau keberadaannya bisa menemani dan merawat
Sherine.
Taylor juga mengingat alasan Sherine saat itu, ia tidak
mau Niall mengurusnya dan tau kondisinya saat ini karena ia tak ingin
merepotkan Niall, ia tak mau mengganggu pekerjaan Niall hanya untuk
mengurus dirinya yang belum tentu dapat menjanjikan kebahagiaan untuk
pria itu. Harusnya Sherine sadar, kekuatan cinta tak akan mengenal
rasa sulit ataupun menyerah, jadi Taylor yakin Niall tak akan merasa
direpotkan kalau ia memang sangat mencintai Sherine, mungkin bahkan
ia akan meninggalkan pekerjaannya demi Sherine....... Ya, itu dia,
Sherine tak ingin Niall meninggalkan pekerjaannya, 'memang seberapa
berharganyakah pekerjaannya itu baginya?!'. Batin Taylor mengumpat
dirinya sendiri.
Berjarak dua belas meter dari langkah-langkah Taylor, di
depannya seorang gadis dengan kemeja kotak-kotak merah yang ditutupi
jacket kulit hitam serta syal yang menutupi sebagian lehernya,
memasuki area lobby The Princess Grace Hospital.
Rambut panjang ikal yang dibiarkannya tergerai, serta
harum parfume yang menyengat sampai menusuk hidung Taylor karena
aromanya yang lembut, parfume yang amat Taylor Lautner hafal siapa
pemiliknya.
Taylor mempercepat langkah kakinya, agar mampu jalan
beriringan dengan gadis itu, “dr.Burke”. Karena langkahnya yang
cepat Taylor memanggilnya agar tak tertinggal dari gadis yang
ternyata seorang dokter itu.
Si gadis yang merasa nama belakangnya itu terpanggil pun
berbalik, “yes, dr.Lautner, may i help you?”. Sahut gadis yang
memiliki postur tubuh yang tingginya hampir menyamai tinggi Taylor,
pria dihadapannya sekarang.
“yes, sampai minggu depan saya ingin pasien Sherine
Arifa anda yang urus”. Ucap Taylor to do point.
Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskan lewat
mulutnya, hingga hembusan itu terdengar oleh Taylor, “ada apa lagi?
Kalian bertengkar?”. Tanyanya sembari menarik tangan Taylor agar
menepi, karena mereka berdiri di tengah koridor.
“Christie, not here, kita sedang bekerja,
konsistenlah”. Taylor mencoba melepas genggaman Christie, dan
memasukkan kembali tangannya ke dalam saku.
“memangnya kau konsisten dengan memanggilku seperti
tadi?”.
Taylor terdiam menatap Christie, ia baru sadar tidak
memanggil gadis itu dengan nama belakang dan gelarnya. Christie
menepuk pelan bahu Taylor dan menerima permintaan Taylor untuk
mengurus Sherine sampai lusa, “sudahlah.. okay, aku akan mengambil
alih tugasmu sampai minggu depan, permisi, dr. Lautner”. Pamit
Christie.
Taylor terlihat berfikir sejenak hingga akhirnya
memanggil kembali dokter cantik itu, “tunggu! Christie, umm...
sorry, okay kali ini saja”. Ucap Taylor meminta kali ini saja ia
tak konsisten pada pekerjaannya, “Aku ingin kau memberitahuku siapa
Niall Horan, aku tau kau juga mengenalnya, Sherine pasti juga cerita
padamu tentangnya, please Chris”.
Christie sempat terpekik sendiri, menyadari betapa
bodohnya pria itu sampai seoarng penyanyi yang bisa dibilang sangat
fenomenal saat ini saja ia tak tau. Tapi dengan cepat gadis itu
tertegun diam terpaku, senyumnya menghilang setelah mencerna ucapan
pria yang saat ini tengah menatap tajam matanya, ia mengingat kembali
janjinya pada Sherine untuk tidak memberitahu Taylor keberadaaan si
penyanyi itu jika ia bertanya, dan ini pertama kalinya Taylor
bertanya. Christie menundukkan kepalanya, menatapi keramik-keramik
lantai yang ia pijak. Dengan sikapnya yang seperti itu, Taylor yakin
Christie tau pula tentang Niall.
“kau tau kan? Ini demi kesembuhan Sherine, Chris.
Sherine butuh seseorang yang menyayanginya yang mampu merawatnya,
mendampinginya melewati ini semua”. Taylor mulai memancing Christie
agar membuka mulutnya, karena dengan ini Taylor akan cepat tau
keberadaan Niall dan mungkin nantinya Tay akan menyeret pria itu ke
hadapan Sherine.
Christie cukup terpana akan ucapan Taylor, ia juga tau
bahwa kasih sayang adalah salah satu obat mujarab untuk penyembuhan
segala penyakit. Tapi Christie tetap tak bisa, ia sudah terlanjur
berjanji pada gadis yang sudah cukup lama menjadi sahabatnya itu.
“sorry, Tay. Aku tidak bisa, Sherine justru tak ingin
orang itu tau, karena Sherine ingin..”.
“..ingin orang itu bahagia tanpa harus mengurusnya?
atau bahkan mengetahui keadaannya secuilpun?”.
Gadis itu kini kembali bungkam, ia benar-benar berada di
posisi terpojok sekarang, bahkan pada posisi penentu. Ia harus
memilih siapa? Sherine sahabatnya? Atau Taylor kekasihnya?
“huh.. Chris, look. Kau pasti tau kekuatan cinta, aku
tau kau bisa merasakan hal itu padaku jika aku merasakan hal yang
sama padamu itu membuat.... kau begitu bahagia. Dengar, seburuk
apapun hidupmu jika kau bersamaku kau pasti tetap merasakan
kebahagiaan itu, benarkan?”.
Christie tersentak, kembali terkejut akan perkataan pria
tampan di hadapannya ini, semakin merasa menjadi saksi mata yang jika
salah memberikan kesaksiannya maka ialah yang akan menghuni bui.
“sekarang kau lihat gadis yang di rawat dikamar 501
itu, kau tak pernah terfikir jika aku yang menjadi pasien itu lalu
kau tak pernah tau keadaanku seperti itu”.
Kini gadis itu tak bisa mengatur nafasnya, seolah kini
ia bisa merasakan sakit yang dialami Sherine saat ini, wajahnya
menampakkan jelas raut kesedihan dan rasa bersalah. Seketika
keningnya terasa hangat dan lembut menyelimuti hingga sampai ke dalam
hatinya, kecupan lembut dari sang kekasih mungkin mampu membantu
menetralisir fikirannya saat ini.
“chris, please”. Digenggamnya kini kedua tangan
gadis pujaan hatinya, berharap ia mau membuka mulutnya sekarang.
Ya, Christie mulai membuka mulutnya, “... kau...”.
“dr. Lautner? dr. Burke? Sedang apa kalian disini?”.
“dr. Cullen?”. Ucap Christie setelah menemukan asal
suara yang memanggil mereka.
Si kepala dokter The Princess Grace Hospital telah
menemukan kedua anak buahnya yang sepertinya telah membuat suatu
kesalahan.
“apa kalian tak ada pasien yang harus kalian urus? dr.
Lautner, kukira kau sudah menguasai akan aturan rumah sakit ini”.
Sambar dr. Cullen, dan mereka menunduk meyadari kesalahan yang
pertama kali mereka buat sampai tertangkap basah kepala dokter rumah
sakit ini.
“i'm sorry, doctor”. Ucap Tay menyesal.
“dr. Burke, kenapa kau belum mengganti pakaianmu? Oh
ya, aku minta kau berikan ini pada pasienmu Mrs.Ferland, dan katakan
pada keluarganya bahwa aku akan mulai melakukan operasi besok malam”.
Kata dr. Cullen sembari menyerahkan beberapa map yang berisi hasil
rontgen pasien tersebut kepada Christie.
“sorry, doctor. Okay, fine”.
“tunggu apa lagi? Aku ingin bicara pada dr. Lautner”.
Christie pun terpaksa meninggalkan Taylor sebelum
memberikan jawabannya, dan entahlah ia akan memberitahu yang
sebenarnya atau justru terus menutupinya.
“dr. Lautner, bagaimana keadaan pasien tetapmu saat
ini?”.
“maksud anda Mrs.Sherine?”.
“ya, siapa lagi? Pasien termuda dalam sejarah rumah
sakit ini yang mengalami Kanker Nasofaring. Bagaimana
perkembangannya? Aku takut jika ia tetap bersikukuh tak mau melawan
penyakit ganas itu, ia akan.... kehabisan waktu”.
“apa? Tapi ia baru stadium satu”. Taylor tak sampai
berfikir sejauh itu, Sherine memang terlihat tak ingin sembuh, ia
begitu pasrah akan penyakit yang menggerogotinya.
“dr.Lautner, tentunya kau tau, jika kanker itu tak
cepat diatasi maka sel-sel kanker itu akan menjalar sampai keseluruh
tubuh. Aku yakin kau tak mau sampai itu terjadi pada pasienmu itu,
maka dari itu, aku harap kau mampu membantu membangkitkan semangatnya
untuk sembuh total”. Jelas dr.Cullen. Ya, itulah tugas besar
Taylor, membantu Sherine agar ia mau melakukan perlawanan pada
penyakitnya, jika hanya melakukan Kemoterapi dan Radioterapi saja tak
cukup apabila si pasien tak ada keinginan untuk berusaha sembuh, 'ya,
lagi-lagi kembali pada pria itu, dialah satu-satunya yang mampu
mengubah jalan fikir Sherine'. Batin Taylor.
“dan setelah kau lakukan Kemoterapi minggu depan, aku
ingin kau menyerahkan hasil rontgennya padaku”.
“baik, doctor”.
“dan ingat, jangan kau sertakan urusan pribadimu
kedalam pekerjaanmu itu”. Akhirnya sebelum meninggalkan Taylor yang
tiba-tiba merasakan sebuah getaran dalam saku celananya.
“aku tak akan mengulanginya lagi, doctor”.
Taylor mengeluarkan benda yang bergetar tadi dari dalam
sakunya. Pesan dari Christie.
'you can search him on google'.
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't
forget to send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 10 ;)




0 comments:
Post a Comment