Author: @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome to my
Imagination|
Hope you like this guys
;)
~NLS~
_Niall pov_
Sejak
delapan bulan silam aku menutup hati ku rapat-rapat, dan kini aku
akan mulai membukanya kembali, namun kali ini aku akan berhati-hati
memilih cinta. Bukan, maksudku menemukan cinta yang sesungguhnya, tak
mau hal itu terulang lagi, mencintai seseorang yang ternyata ia tak
mencintaimu?
Mungkin
untuk seusiaku mencari cinta itu harusnya mudah, tapi tidak untuk
seenak jidat mengatakan bahwa dialah cinta kita, itulah yang sulit
untuk ku lontarkan sekarang, entahlah, aku cukup sulit untuk
melupakan gadis yang seketika mampu membuatku sadar bahwa diantara
kami sebenarnya tak ada latar cinta, tapi aku akan terus mencoba,
membuktikan padanya bahwa aku bisa melakukan apa yang ia inginkan
saat hari itu. Mencari cinta sejati. Dan itu... bukan dia.
Karna
ialah kini aku menjadi seorang yang bersikukuh untuk mencari cinta
yang benar-benar sejati, dialah yang telah mencuci otakku untuk
menemukan cinta sejati, mantan kekasih, ah.. bukan, sahabatku,
Sherine Arifa.
~NLS~
Menentukan
pakaian yang akan kukenakan itu lebih sulit dibandingkan menentukan
yang mana makanan yang harus kulahap terlebih dahulu. Masalahnya hari
ini aku harus menghadiri sebuah acara pribadi pertunangan temanku.
Mungkin aku tak akan serepot ini jika aku dalam One Direction, karena
sudah ada crew yang menyediakannya untuk kami.
Sudah
hampir setengah jam aku berdiri tegak didepan lemari pakaian ku,
hanya meletakkan kedua tangan di pinggang, sesekali menggaruk- garuk
kepala dan dagu, memperhatikan seisi lemari tersebut dari sudut kanan
hingga sudut kiri. Aku sadar betul ini pertama kalinya aku memutar
otak hanya untuk memilih pakaian yang pas untuk aku kenakan kesebuah
acara formal. Tapi apa ini karena aku pergi dengannya?
“Ayolah
Niall! ini bukan menghadiri pertunangan anak kerajaan, apa susahnya
mengambil sebuah kemeja putih, setelan black blazer, dan sepasang
sepatu pantofel, itu saja!”. Teriakan nyaring itu berhasil
membantuku dalam kegalauan memilih pakaian yang tepat.
“dasar
norak! Aku tau, ini pertama kalinya kau menghadiri sebuah acara
formal selain bersama boyband mu itu, iyakan?”. Ocehnya amat sangat
bawel yang sekarang sudah masuk kedalam kamarku, karena sedari tadi
lelah menungguku di ruang tamu.
Ku
ambil pakain yang disebutnya tadi, tanpa memperdulikan ocehannya.
Dengan cengiran keberhasilan kupandangi pakaian ditanganku sekarang.
Kudengar sedikit dengusannya saat aku melaluinya masuk kekamar mandi,
tetap seolah tak menyadari kehadirannya.
Pakaian
itu berhasil melekat ditubuhku, mengamati hasil pantulan cermin
dihadapanku sekarang, “ perfect!”. Singkatku menyunggingkan alis
kiriku.
“cepat,
bodoh! Kita terlambaat!”. Teriaknya yang ternyata masih dikamarku,
karena suaranya yang begitu nyaring sampai menggema di dalam kamar
mandiku ini.
Setelah
menyemprotkan sedikit parfume, aku keluar dari kamar mandiku,
“bagaimana?”. Ucapku menanyakan pendapatnya, bergaya bak model
profesional, berharap ia terpesona oleh wujudku saat ini.
“hehhhh..”.
Dengusnya lesu tak perduli, “cepat tangkap ini”. Ia melemparkan
kunci mobilnya asal dan kutangkap dengan penuh keterkejutan, kami
pergi menggunakan mobilnya, karena mobilku yang kutinggalkan di rumah
Harry kemarin.
Kutatap
punggungnya yang menghilang dari daun pintu kamarku. Memori beberapa
bulan silam, disaat kami masih bersama. Aku mengingatnya lagi,
kata-kata terakhirnya sebelum mengakhiri hubungan itu. Tertunduk
sesaat menatap sepatu pantofelku yang mengkilat, “apa ia sudah
menemukan apa yang ia cari?”. Ucapku sendiri.
“WHAT?!”.
Ia kembali, “umm.. tidak”. Jawabku mengangkat wajahku.
Ia
memutar bolamatanya, “ayo cepat!”. Ia menarikku, karena aku masih
diam ditempat.
“aku
bisa jalan sendiri Sher, lepaskan”. Pintaku melepaskan
genggamannya, dan berjalan lebih dulu.
“aku
tidak akan menarik tanganmu seperti itu jika kau tidak lelet!”.
Omelnya menyusulku.
Karena
temanku yang bertunangan adalah temannya juga, dan memang rumah kami
yang hampir berdempetan, jadi terpaksa kami jalan bersama.
“dan
jika kau tak meninggalkan mobil barumu itu, sudah ku tinggal kau
sedari tadi dan aku juga tak akan mau pergi bersamamu!”. Tak
perduli aku mendengarnya atau tidak, ia terus menggerutu. Entah
kenapa ia benar-benar berbeda sekarang dari yang dulu, Sherine
kekasihku dulu.
“kau
fikir aku sengaja meninggalkannya?”. Belaku sebelum membuka pintu
mobil untuknya.
Sherine
membenarkan gaun hitamnya yang panjang saat masuk kedalam mobil,
“okay, kumaafkan”. Ucapnya membenarkan posisi duduknya, “hahh?
memangnya apa salahku?”. Ku banting sedikit pintunya lalu menuju
pintu kemudi, dan masuk kedalam.
Suara
jeritan mesin mobil Sherine menjadi backsound percakapan kami
sekarang, “salahmu karena sudah membuang waktu hanya untuk memilih
pakaian yang membuat kita terlambat ke acara utamanya, Niall-Ho-ran”.
Jawab Sherine bertele-tele.
Tak
memperdulikan jawabannya lagi, aku merapihkan tumpukan kertas dan map
di atas dashboard, “kenapa kau selalu menaruh apa saja disini? Ini
mengganggu penglihatan, kau tau?”. Ucapku memindahkan kertas-kertas
dan beberapa map itu yang ku tau ini adalah tumpukkan dokumen hasil
pekerjaanya.
Sherine
adalah seorang reporter berita yang biasa terjun langsung kelapangan.
Sudah sekitar tiga bulan ia menggeluti pekerjaanya itu, tepatnya saat
beberapa minggu kami menyudahi hubungan itu. Mungkin karena
pekerjaannya itulah yang membuatnya berubah menjadi gadis yang banyak
bicara dan terlalu ceria, tidak lagi sherine yang pendiam dan lembut.
Tapi itu bagus, dengan begitu aku sering terlupa bahwa ia pernah
menjadi kekasihku.
“eh,
yang ini biar kusiampan di tas”. Ucapnya tiba-tiba merebut sebuah
map putih di tanganku saat aku belum sempat mencerna label pada map
terakhir yang kupindahkan itu.
Aku
hanya melihatnya berusaha melipat lipat map itu sekecil mungkin agar
dapat masuk kedalam tas kecilnya itu, “kau tunggu apa lagi? Ayo
cepat jalan!”. Tegurnya menyadari aku yang telah memperhatikannya.
~NLS~
|Flashback
On|
Masih
dengan sepasang cempal yang membungkus tanganku, kuangkat mangkuk
almunium itu, lalu sedikit berlari menuju pintu keluar rumah, sambil
menghirup aroma yang keluar dari mangkuk tersebut, aku memasuki
sebuah rumah tepat disebelah kiri rumahku, “Sherine! Aku bawa sup
Irish Stewnya! Kau tau? Aku berhasil membuatnya sendiri!”. Ucapku
antusias.
Aku
sudah berada di ruang makannya, menaruh mangkuk itu dan memanggilnya
lagi yang tak kunjung datang, “Sher? Where are you? Cepatlah aku
kelaparan”.
Langkah
kakinya mulai terdengar, ku angkat mangkuk sup itu lagi dan
menghampiri asal suara tapak kakinya itu, “tadaaa!”. Ku suguhkan
mangkuk itu tepat didepan wajah yang terhias senyum manisnya, “Babe?
Mata dan hidungmu merah, kau flu lagi?”. Tebakku, lalu ku letakkan
mangkuk sup ku diatas meja makan yang tak jauh dari kami berdiri.
“apa
aku harus menjawabnya?”. Ucapnya tersenyum, ya.. memang seharusnya
aku tak perlu menanyakan hal itu untuk yang kesekian kalinya, hanya
untuk mendapatkan sebuah jawaban yang sama saja, karena memang sudah
langganan Sherine memiliki penyakit ringan itu, entah alergi atu apa,
ia sendiripun tidak tau, bak kewajiban hidungnya memerah karena
tersumbat setiap minggu bahkan hampir setiap harinya. Tapi ia tak
seperti itu sejak lahir, katanya semenjak ia pindah kesini beberapa
tahun lalu hidungnya sudah mulai bermasalah, entah apa karena ia
tidak cocok dengan udara disini, mengingat ia berasal dari Indonesia
yang iklimnya tropis, selalu panas katanya.
Kulihat
ia menggenggam sesuatu, map berwarna putih dengan lebel berwarna biru
muda yang asing bagiku, menggantung ditangannya.
“itu map apa?”. Tanyaku. Namun Sherine malah menyembunyikan map itu dibalik tubuhnya.
“itu map apa?”. Tanyaku. Namun Sherine malah menyembunyikan map itu dibalik tubuhnya.
“tidak,
bukan apa-apa. Hanya map biasa yang baru ku beli”.
“untuk
apa?”.
“sudahlah,
hanya map biasa. Tak usah dibahas”. Ucapnya, seraya kembali kekamar
untuk meletakkan map putih itu mungkin.
“kau
tak pernah memeriksakannya?”. Tanyaku sekembalinya ia dari
kamarnya. Sherine memang tak terlalu memikirkan kondisinya yang
menurutnya hanya biasa-biasa saja, memang flu adalah penyakit yang
setiap orang pasti pernah mengalaminya, oleh karena itu, Sherine tak
pernah ambil pusing akan kelainan pada hidungnya tersebut.
Mungkin
terlalu muak dengan perintahku untuk memeriksakannya, jadi ia turuti
itu, “sudah pagi tadi, dan dokter bilang hanya penyakit keturunan,
hhaha.. aneh bukan? Sudahlah, mana supnya?”. Ucapnya tersenyum
lembut, lalu ku palingkan tatapanku ke meja makan, dan Sherine
mengikutinya.
“hmm..
Inikah Irish Stew yang kau bilang? Kau bisa membuatnya sendiri? Aku
tak percaya”. Ucapnya tersenyum bahagia setelah sampai dihadapan
sup yang kubawa tadi.
Aku
menyusul duduk di hadapannya, “sudaah jangan banyak bicara, cepat
kau coba, jika kau bilang enak, maka aku akan menghabiskannya”.
Ucapku yang sudah tak tahan lagi menahan perutku yang sudah
menggeruyuk.
“aahh...
Ku kira kau memberikannya untukku, jadi kau hanya ingin aku
menyicipinya saja?”. Sherine mempoutkan bibirnya sebal, dan aku
hanya tertawa kecil melihat wajah lucunya.
“well,
karena aku baik hati, kita akan menghabiskannya berdua, okay?”.
Ucapku memberikannya sendok, “ummmmm.. Niall! kau pintar memasak
juga rupanya”. Ucapnya yang sudah melahap sup itu duluan.
Aku
menyusul merendam sendok ditanganku kedalam mangkuk, “hhaha.. ini
pertama kalinya aku masak, bodoh! Jadi kalau memang enak itu bukan
karena aku pintar memasak, tapi karena sudah takdirnya, kau tau”.
Ucapku dengan bangga kemudian menyeruputnya.
“terserah
kau saja!... eh! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu”. Sherine
menghentikan santapannya, meletakkan sendoknya disamping mangkuk sup
yang kami santap bersama.
“what?”.
Aku mulai menyantap isi sup buatanku itu yang sudah tak mengepul,
beberapa jari-jemari meraba lembut tangan kiri ku yang menganggur,
tangan gadis berdarah asli Indonesia itu berhasil menghentikanku
menikmati Irish Stew ini. ia menatapku lembut, selembut genggamannya
kini.
“Niall,
sahabat kedengarannya lebih bagus untuk hubungan kita...”. Wajahku
pasti terlihat jelas perubahannya, tak ada goresan senyum lagi di
bibirku, semakin memperhatikan gerakan bibirnya. Hanya sebaris
kalimat mampu membuatku mengerti bahwa hubungan yang sudah kami
jalani hampir dua tahun belakangan ini akan berhenti sampai
kalimatnya itu berakhir.
“hmm..
kau tau? Kurasa kita lebih terlihat sebagai sahabat, bukan sepasang
kekasih”. Ku letakkan sendokku didasar meja, sedikit mengulur
tanganku agar terlepas dari genggamannya, dan Sherine membiarkannya.
Aku melipat tanganku di atas meja, menatapnya lebih dekat, “why?
Kenapa kau bicara seperti ini?”. Mulaiku, meminta penjelasannya.
Sup
didalam mangkuk itu sudah tak kami senggol lagi, menggenang dengan
tenang, ikut mendengar percakapan kami yang semakin menegang, “aku
merasa bahwa aku hanya sekedar suka padamu...”. Sekedar? Ini
menjadi kata paling mengerikan untukku saat ini, “... dan kau pun
juga begitu ku lihat, is it?”. Entah sejak kapan ia mempunyai
kelebihan meramal seperti itu, tapi tepatnya adalah peramal gadungan
yang ramalannya gagal total.
Aku
menyandar di kursi tempatku duduk sekarang, memperhatikan sekitar
ruang makannya yang hanya sekedar melihat, namun tak mencerna apa
yang kulihat, “hah.. atas dasar apa kau bicara seperti itu?”.
Tanyaku kembali menatapnya.
Sherine
menggulung rambut hitamnya untuk ia ikat,“tidak untuk apa-apa,
hanya saja aku ingin membiarkanmu mencari cinta yang benar-benar
sejati untukmu, dan itu bukan aku”. Terlihat amat sangat relax
mengatakannya, berhasil membuatku bungkam seribu bahasa akan
perkataanya itu.
Dudukku
sudah mulai gelisah, ia terus mengeluarkan kalimat-kalimat aneh lagi,
“begitupun denganku, kau bukanlah cinta sejatiku, Niall”. Jadi
selama ini ia pikir aku bukanlah cinta sejatinya? Skucmat! Begitu
mulusnya ia mengatakan hal itu, namun berduri bagiku menerimanya
masuk kedalam telingaku.
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi, mulutku sudah benar-benar terkunci.
Sherine, ternyata ia tidak mencintaiku, selama hampir dua tahun ini,
ia hanya menyukaiku? Apa aku juga begitu? Kalimat-kalimatnya tadi
membuatku lupa akan perasaan yang sesungguhnya aku rasakan padanya,
satu hal yang baru kuketahui lagi tentangnya, ia tak pernah
mencintaiku, Sherine Arifa tak pernah mencintaiku.....
“dengar,
kita akan mencari cinta sejati itu, kau dan aku, akan menemukan cinta
sejati masing-masing, okay?”. Sarannya itu membuatku muak seketika,
tanganku mengepal di bawah meja, itukah yang ia inginkan? baiklah,
aku akan membuktikannya, bahwa aku dapat menemukan cinta sejatiku,
dan itu bukan dia!
“umm..
niall, aku harus kembali keloteng, mengambil tumpukan sampah dan
barang-barang bekas yang harus kubuang, kau tunggu di...”. Lanjut
Sherine beranjak dari kursinya
“no,
aku juga harus pulang, ada show ku bersama The boys tiga jam lagi,
dan aku belum mandi”. Potongku bohong, lalu meninggalkannya lebih
dulu di ruang makan. Aku takut, semakin lama aku disini, aku akan
semakin merasakan sakit, dan emosi yang tak dapat ku kontrol lagi
akan tumpah saat ini juga.
Sampai
didaun pintu Sherine memanggilku, “Niall, supnya?”. Tahannya,
“aku sudah kenyang, kau habiskan saja, kau suka kan? Kapan-kapan
saja kau pulangkan mangkuknya”. Ucapku yang sudah siap menarik
gagang pintu.
“Niall,
wait!”. Tahannya lagi, “friendship?”.
Sudah?
Sampai disini sajakah hubungan ini? “friendship”. Ya, mungkin
kami memang lebih pantas menjadi sahabat....
|Flashback
Off|
~NLS~
Di
perjalanan pulang, setelah kami menghadiri pertunangan teman kami,
“Sher, sudah setengah tahun lebih sejak kau memutuskan untuk
mencari cinta sejati, apa kau sudah menemukannya?”. Tanyaku.
Aku
sadar kini ia melihatku tak percaya menanyakan hal semacam ini untuk
pertama kalinya sejak hari itu, “menurutmu?”. Ucapnya, memintaku
menebak, “belum. Dengar, ini hanya tebakanku”. Kataku.
“hhahaha..
umm.. yaaa, memang belum, mungkin suatu saat nanti cinta sejatiku itu
akan datang dengan sendirirnya, entah kapan, bagaimana denganmu,
Niall?”. Ia balik bertanya, dan aku hanya menggeleng tetap fokus
menyetir, memperhatikan jalan.
Dan
akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya, tentang apa yang
kulihat di pesta pertunangan temanku tadi. Sherine, dengan seorang
pria berkulit sedikit gelap dariku.... , “lalu, siapa pria yang
bersamamu tadi? Ia terlihat begitu akrab denganmu”. Tanyaku.
Terbayang sesosok pria berambut hitam dan beralis tebal tadi, dimana
ia mengusap lembut hidung Sherine yang entah kenapa membuatku
berapi-api saat itu.
Sherine
bangkit dari sandarannya, menatapku tajam, “kau melihatnya? Umm..
apa kau juga mendengar pembicaraan kami? Dimana kau saat aku
bersamanya?”.
~NLS~
|To Be
Continued|
Don't forget
to send ur feedback! or visit my twitter account @FathimHaddad501 for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 3 ;)




0 comments:
Post a Comment