Sunday, April 21, 2013

#NLS Princess Nose And True Love {Part 10}

Posted by Unknown at 9:47:00 PM

Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 10}

Author:
@Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad

Genre: Romantic

Rating: G (General)

Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
          - @SherineCArifa as Sherine Arifa
          - @OfficialTL as Taylor Lautner
          - @christiemburke as Christie burke
          - And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}

Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato



|Welcome to my Imagination|

Hope you like this guys ;)


~NLS~


_Author pov_


Christie pun terpaksa meninggalkan Taylor sebelum memberikan jawabannya, dan entahlah ia akan memberitahu yang sebenarnya atau justru terus menutupinya.

dr. Lautner, bagaimana keadaan pasien tetapmu saat ini?”.

maksud anda Mrs.Sherine?”.

ya, siapa lagi? Pasien termuda dalam sejarah rumah sakit ini yang mengalami Kanker Nasofaring. Bagaimana perkembangannya? Aku takut jika ia tetap bersikukuh tak mau melawan penyakit ganas itu, ia akan.... kehabisan waktu”.

apa? Tapi ia baru stadium satu”. Taylor tak sampai berfikir sejauh itu, Sherine memang terlihat tak ingin sembuh, ia begitu pasrah akan penyakit yang menggerogotinya.

dr.Lautner, tentunya kau tau, jika kanker itu tak cepat diatasi maka sel-sel kanker itu akan menjalar sampai keseluruh tubuh. Aku yakin kau tak mau sampai itu terjadi pada pasienmu itu, maka dari itu, aku harap kau mampu membantu membangkitkan semangatnya untuk sembuh total”. Jelas dr.Cullen. Ya, itulah tugas besar Taylor, membantu Sherine agar ia mau melakukan perlawanan pada penyakitnya, jika hanya melakukan Kemoterapi dan Radioterapi saja tak cukup apabila si pasien tak ada keinginan untuk berusaha sembuh, 'ya, lagi-lagi kembali pada pria itu, dialah satu-satunya yang mampu mengubah jalan fikir Sherine'. Batin Taylor.

dan setelah kau lakukan Kemoterapi minggu depan, aku ingin kau menyerahkan hasil rontgennya padaku”.

baik, doctor”.

dan ingat, jangan kau sertakan urusan pribadimu kedalam pekerjaanmu itu”. Akhirnya sebelum meninggalkan Taylor yang tiba-tiba merasakan sebuah getaran dalam saku celananya.

aku tak akan mengulanginya lagi, doctor”.

Taylor mengeluarkan benda yang bergetar tadi dari dalam sakunya. Pesan dari Christie.

'you can search him on google'.

Isi pesan itu membuat Taylor mengerutkan keningnya, tapi disisi lain ia merasa menang karena dapat membuat kekasihnya itu membuka mulut tentang mantan kekasih sahabatnya itu. Tapi Taylor masih tak mengerti maksud pesan itu, “memangnya dia siapa sampai dengan mudah aku bisa mencarinya di google?”. Bisik Taylor, yang kemudian sadar, bahwa orang yang ingin ia seret ini sepertinya bukan orang sembarangan.


_Author pov End_


~NLS~


_Niall pov_


Jarum yang terdapat dalam arlojiku bergeser melewati angka dua belas, yang artinya sudah masuk tengah malam. Aku duduk menyendiri di bawah pohon besar yang berdiri tepat di depan rumahku, di temani secangkir hot chocolate yang membantu menyelimuti dinginnya malam dan sisa pizza Liam dan Harry yang ku bawa pulang tadi, juga sebuah gitar di pangkuanku yang kumainkan sambil bernyanyi sendiri.




Aku tertawa sendiri kini, mentertawakan yang ku lakukan saat ini. Aku menunggunya, menunggu Sherine pulang sampai tengah malam begini? Aku teringat kejadian sore tadi, sebelum aku dan teman-temanku memutuskan untuk menggagalkan rencana kami, yakni makan-makan besar di luar, dan akhirnya hanya memesan Pizza delivery saja. Taylor, apa yang ingin ia bicarakan padaku? Apa ia akan melarangku untuk mendekati Sherine? Atau memintaku untuk melupakan Sherine selamanya?

Aku tau hubungan mereka semakin dekat, sangat dekat malah. Dengan Sherine yang kudengar sering menginap dirumah Taylor, dan saat di telfon tadi sore, bahkan Taylor bilang sendiri pada Harry bahwa Sherine sedang tertidur dihadapannya. Jika dibandingkan dengan hubungan kami dulu, Sherine tak akan mau tidur di kamarku jika kami hanya berdua dirumah, mungkin kami hanya mengisi waktu luang di ruang tengah seraya menikmati tayangan televisi sambil menghabiskan tumpukan beberapa snack yang aku punya.

Sherine, apa aku bisa melupakanmu? Aku tau aku pria bodoh, aku begitu mudah memaafkanmu yang memainkan perasaanku saat itu. Kau bilang kau hanya sekedar suka padaku, lalu apa yang telah kau berikan padaku selama hampir dua tahun itu, kenapa saat aku mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu untuk yang pertama kalinya, di hadapan directionersku beberapa tahun silam, saat itu kau bilang kau juga? Aku bilang Aku mencintaimu, Sher. Bukan Aku menyukaimu.

Lalu kau membuat keputusan itu seenakmu, dan bodohnya aku menerima bahkan menyanggupi keputusanmu itu, sampai aku berfikir bahwa aku juga memang sekedar suka padamu, aku sekedar suka padamu saat setelah kau mengeluarkan kata-kata menyakitkan itu.

Sekarang, disaat aku menyadari kebodohanku atas kebodohanmu, kau malah berlari jauh dariku, kau malah menyakitiku semakin dalam. Kau begitu mudah membuka hatimu dengan orang lain yang tak lebih dari satu tahun kau kenal. Ketimbang aku yang sudah lebih dari dua tahun kau kenal. Tapi kenapa kau tak membukanya untukku? Kenapa kau tak mencintaiku? Kenapa kau membohongi persaanmu padaku selama dua tahun itu?

Mataku sudah beberapa kali terpejam dan terbuka, aku mulai mengantuk. Makananku juga sudah habis. Hot chocolateku sudah dingin, dan aku tak suka meminum hot choclate yang dingin, hingga ku putuskan untuk berhenti menunggunya. Aku tau ia pasti tak akan pulang lagi hari ini, tentu saja, bodohnya kau Niall, ia bersama Taylor lagi bukan?

Aku berdiri, menghampiri rumah yang berdiri tepat di sebelah kiriku, menaiki beberapa anak tangga untuk sampai tepat pada daun pintu rumahnya seraya mencari sesuatu didalam saku celana ku, sepucuk surat. Ku selipkan sepucuk surat itu di bawah pintunya. Kuno, ya aku tau ini cara kuno, tapi jika ia sudah pulang sedari tadi dan handphonenya tetap aktif, aku akan bicara padanya langsung. Atau besok, tapi tak bisa, didalam surat itu aku juga mengatakan padanya bahwa mulai besok aku akan tinggal di flat dan lebih sering ke luar negeri untuk pekerjaanku bersama One Direction, persiapan Tour album terbaru kami.

kau harus membacanya, Sher”. Desisku sendiri seraya memandangi surat itu yang kini sudah tergeletak tenang di lantai.


_Niall pov End_


~NLS~


_Sherine pov_


Aku menatap gadis yang sedikit lebih tua dari ku itu dengan tatapan membidik, agar ia menyadari kesalahannya. Aku tau aku dilarang bertemu Taylor sampai hari dimana aku akan melakukan 'ritual' lagi, tapi aku memaksanya untuk menyeret Tay ke ruanganku sekarang juga. Christie ku paksa untuk menelfon Taylor dengan alasan kondisiku yang menurun drastis, dan benar saja, Tay sampai lebih cepat dari dugaanku.

Terkejut ia didapatinya aku duduk di sofa dengan tatapan yang sama dengan tatapan yang kuberikan pada Christie tadi, “kau sudah tau tentang dia? Kau sudah mencari taunya?”. Sambarku yang tak membiarkannya untuk mengatur nafasnya dahulu.

Ia terdiam sesaat, lalu nampak mencari sesuatu. Taylor meraih remote tv dan mencari channel yang sedang memutar video clip Little Thing dari One Direction, dan tepat pada bagian lirik Niall.




ya, aku tau siapa ia sekarang, dan aku akan memberitahu semua padanya sekarang juga”. Serunya.

Aku berdiri dan merebut remote itu dari tangannya, menekan tombol berwarna merah sehingga layar televisi itu berubah gelap, seolah aku tak mau ia tau apa yang akan aku bicarakan pada Taylor, walaupun itu hanya gambarnya di televisi tadi, “sudah kukatakan! Aku yang akan mengatakannya sendiri, aku bisa mengurus masalahku sendiri, Tay”.

kau tak bisa mengatasinya sendiri, Sher! Kau lihat sekarang keadaanmu saat ini, apa sudah kau atasi?”.

untuk kali ini, jangan kau campuri urusanku, Taylor Lautner!”.

aku tak mencampuri urusanmu, Sher. Tapi aku melakukan pekerjaan yang seharusnya kukerjakan. Menolong pasienku, Mrs. Sherine Arifa”. Tay langsung meninggalkan ruanganku bersamaan dengan kepalaku yang tiba-tiba di penuhi kunang-kunang dan lemas yang tak dapat ku lawan lagi. Aku terjatuh. Dengan sergap Christie menopang tubuhku agar tak membentur lantai, kini bergema kudengar teriakan Christie memanggil nama Taylor, dan samar-samar kulihat bayangan lelaki itu tiba di hadapanku dan menggendongku entah kemana. Hanya gelap gulita yang kulihat kini.


~NLS~


Bayang wajah yang bagaikan seorang malaikat, menatapku dengan sorot mata biru penuh kelembutan, senyuman khas yang menawan, tak mampu menutup rapat deretan gigi-gigi besarnya yang terhalang besi.





Apa ini akhir hidupku? Apakah ia malaikat pencabut nyawaku? Jika iya, bolehkah ia mencabut nyawaku sekarang juga? Dan biarkan ia selalu berada disampingku selamanya.

Cahaya putih di belakangnya semakin menyilaukan, membuat mataku tak mampu lagi menahan perih karena menatapnya lebih lama, aku tak rela meski akhirnya aku terpejam juga, merekatkan pelupuk mata ini sekuat tenaga karena cahaya itu masih menuskku.

Mrs.Arifa, kau sudah siuman?”. Seorang dokter yang cukup ku kenal itu menyapaku saat aku membuka perlahan mataku.




 
Dr.Cullen mematikan lampu senter kecilnya, kemudian memeriksa denyut nadiku.

Aku memalingkan wajahku amat perlahan ke kanan dan kekiri, mencoba menangkap sesuatu yang sudah terbayang dalam benakku, “ada apa Mrs.Arifa? Kau mencari dokter favoritemu, dr.Lautner?”. Seru dr.Cullen seolah mengerti maksudku, seraya berkutat dengan lembaran kertas di atas papan serta pena yang ada pada genggamannya.

Aku tak bisa menjawab, entah kenapa suaraku berat untuk kukeluarkan, “jangan di paksa Mrs.Arifa, aku memang sudah memberikan obat pengurang rasa sakit untuk ronggamu, dan efek itu hanya sementara saja, sebentar lagi juga akan hilang”.

Aku kembali mengingat mimpiku saat ruhku terlepas dari tubuhku ini. Malaikat itu begitu mirip dengan Niall, atau memang itu Niall? Rasa rindu yang teramat dalam membuatku sering memikirkan dan memimpikannya. Setelah melihat wajah itu, aku selalu merasa terlahir kembali dan merasa menjadi Sherine yang memang terlahir untuk Niall. Tapi saat aku terbangun, aku sadar, dia terlahir bukan untukku.

hahh, selesai. Kau pingsan lebih lama dari sebelumnya Mrs.Arifa, dan kau tau? Lusa kau akan menjalani Kemoterapi, maka jagalah fisikmu,”. Mataku yang berat menatapnya tak percaya, selama empat hari aku tak sadarkan diri.

dan ku harap si Lautner itu berhasil membawa seseorang yang katanya akan mampu membantumu melewati semua ini”. Sekali lagi aku terkejut atas penuturannya, apa maksudnya? Siapa yang akan Taylor bawa? Apakah..

Ohh Sherine.. kenapa kau tak pernah cerita padaku kalau kau dan Niall Horan memiliki hubungan spesial? Dia dari One Direction bukan? kau tau, Anakku sangat menyukainya, lain kali kau harus membawanya kepada anakku, dan....”. Si Cullen itu terus berkoar menceritakan kesukaan sampai kefanatikan anaknya kepada Niall dan kawan-kawan. Aku ingat keluhan Taylor tentang si cullen ini, yang selalu tertib pada peraturan, tapi sekarang sepertinya ia lupa pernah membuat peraturan itu.

Aku terus mendengarkannya namun tak benar-benar mendengarkan, aku berharap ia cepat menyelesaikan ceritanya lalu aku bisa keluar dari rumah sakit ini dan mentoyor habis si bodoh Lautner itu.

... ya, begitulah anakku. Umm.. aku akan kembali lagi nanti, beristirahatlah, Mrs.Arifa”. Akhir si Cullen sebelum menutup rapat pintu kayu berwarna coklat marun itu.

Sekuat tenaga kuangkat tangan kananku agar mampu meraih selang yang masuk kedalam pergelangan tangan kiriku. Menahan rasa sakit yang mengilukan saat mengeluarkan jarum yang menembus kulit ini. Mengangkat tubuh ini yang baru kusadari amat sangat berat, mencoba turun dari ranjang dan meraih pengait pintu itu, “aku tak akan membiarkanmu mengatakan padanya, Tay”. Ucapku lirih setelah berhasil keluar dari ruangan bernomor pintu 501 itu.


~NLS~


stop here, please”. Pintaku pada pengemudi taksi yang mengantarku dari rumah sakit Princess Grace sampai tiba di rumahku.

Ku dapati Taylor didepan rumah Niall, sepertinya ia baru tiba. Buru-buru ku menghampirinya, walaupun kenyataanya tetap saja tak bisa, tergopoh-gopoh aku berjalan, seperti berjalan dengan kaki yang terikat suatu benda yang berat sehingga sedikit sulit untuk ku melangkah.

Sedikit lega saat aku sampai di depan rumah Niall, yang ku dapati lampu depannya menyala. Aku menepuk pundak Taylor, hingga membutanya terbelalak kaget, didapatinya aku masih dengan pakaian rumah sakit, kini berdiri sedikit membungkuk dihadapannya, “Sherine! Are you crazy!”.

kau yang gila! Kau bodoh! Kau tuli! Sudah ku katakan yang keberapa kalinya, Tay. Aku yang akan mengatakannya sendiri”. Sambarku lirih. Walau ku tau ini tak bisa namun ingin sekali aku mencoba teriak sebisa mungkin agar ia bisa mendengarnya lebih jelas lagi, hingga tak melakukan hal bodoh ini lagi.

tidak, aku harus mengatakannya sekarang juga. Hey!! kau yang didalam! Niall Horan! Keluar kau!”. Taylor mengetuk pintu itu kasar, sampai tetangga disekitar kami yang jaraknya tidak terlalu jauh pun memandangi kami yang seperti seorang anti fans dari Niall Horan.

Taylor, hentikan teriakanmu, dia tak ada dirumahya. Lampunya menyala”.

Taylor seketika mendongak melihat lampion putih yang menyala di atasnya, dan kemudian kembali menatapku, “okay, mungkin aku akan mengatakannya nanti..”.

no Tay, no.”. Potongku. Aku meraih tangan kirinya, menggenggamnya erat seolah memintanya untuk diam sejenak.

dengar, okay aku akan berusaha untuk sembuh dari penyakit ini, tapi kau harus berjanji padaku tak akan melakukan hal sebodoh ini lagi, dan jangan pernah mengatakan padanya tentang kanker ini, aku tak akan segan-segan untuk meninjumu jika kau berani menemuinya lagi”. Lanjutku, menekan setiap kata demi katanya.

Namun Tay malah menggeleng pasti. Ia melepaskan genggamanku, “tidak, aku tidak mau, Sher. Aku harus memberitahunya bahwa kau.. “.

aku yang akan mengatakannya sendiri, Taylor. Aku akan mengatakan itu jika aku sembuh, aku pasti mengatakannya”. Potongku lagi dengan Suara yang hampir melengking karena begitu berusahanya aku untuk mengusir serak ini.

Taylor terdiam lama, entah apa yang ia pikirkan, mungkin mencari kejujuran dari raut wajahku, “kau berjanji?”.

aku akan berjanji jika kau juga berjanji”. Dan akhirnya ia mengangguk lembut.

Aku berkutat pada fikiranku sendiri, menyadari bahwa aku baru saja berjanji yang entah aku bisa menepatinya atau tidak, hanya kata maaf yang aku yakin tak bisa kukatakan langsung pada Taylor. Mungkin aku akan berusaha untuk sembuh, tapi tidak untuk mengatakan persaanku pada Niall, juga alasanku memutuskannya dahulu. Karena tak mungkin aku menghancurkan kebahagiannya lagi untuk kedua kalinya hingga berdampak negative pada hubungan Niall dengan Demi nantinya. Maafkan aku Tay.

okay, sekarang ayo kembali kerumah sakit, Mrs.Arifa”. Ia memberikan senyuman untuk pertama kalinya setelah beberapa hari kami berseteru. Aku membalas senyumnya, ia menggandengku menuju motornya yang terparkir tepat di depan rumahku.

Sejenak aku merasakan kerinduan pada rumahku sendiri, rumah yang berdiri tegak tepat disamping sebuah rumah yang penghuninya juga tak kalah kurindukan. Aku tersenyum sesaat, setelah akhirnya kudapati sesuatu yang ganjil tepat berada di bawah pintu rumahku. Aku mengernyitkan mataku, “sebentar, Tay. Boleh aku pulang? Aku ingin mengambil sesuatu didalam”. Pintaku.

okay, kuantar”.


~NLS~





|To Be Continued|



NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<



DON'T BE SILENT READER!! kalo reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO, jangan cuma baca aja yawh :) If you want respect, then respect others!




Don't forget to send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad and @FathimHaddad501 for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 11 ;)

0 comments:

Post a Comment

 

My Imagination Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea