Title:
#NLS “Princess
Nose And True Love” {Part 11}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Sherine
pov_
Taylor seketika mendongak melihat lampion putih yang
menyala di atasnya, dan kemudian kembali menatapku, “okay, mungkin
aku akan mengatakannya nanti..”.
“no Tay, no.”. Potongku. Aku meraih tangan kirinya,
menggenggamnya erat seolah memintanya untuk diam sejenak.
“dengar, okay aku akan berusaha untuk sembuh dari
penyakit ini. Tapi kau harus berjanji padaku tak akan melakukan hal
sebodoh ini lagi, dan jangan pernah mengatakan padanya tentang kanker
ini. Aku tak akan segan-segan untuk meninjumu jika kau berani
menemuinya lagi”. Lanjutku, menekan setiap kata demi katanya.
Namun Tay malah menggeleng pasti. Ia melepaskan
genggamanku, “tidak, aku tidak mau, Sher. Aku harus memberitahunya
bahwa kau.. “.
“aku yang akan mengatakannya sendiri, Taylor. Aku akan
mengatakan itu jika aku sembuh, aku pasti mengatakannya”. Potongku
lagi dengan Suara yang hampir melengking karena begitu berusahanya
aku untuk mengusir serak ini.
Taylor terdiam lama, entah apa yang ia pikirkan, mungkin
mencari kejujuran dari raut wajahku, “kau berjanji?”.
“aku akan berjanji jika kau juga berjanji”. Dan
akhirnya ia mengangguk lembut.
Aku berkutat pada fikiranku sendiri, menyadari bahwa aku
baru saja berjanji yang entah aku bisa menepatinya atau tidak, hanya
kata maaf yang aku yakin tak bisa kukatakan langsung pada Taylor.
Mungkin aku akan berusaha untuk sembuh, tapi tidak untuk mengatakan
persaanku pada Niall, juga alasanku memutuskannya dahulu. Karena tak
mungkin aku menghancurkan kebahagiannya lagi untuk kedua kalinya
hingga berdampak negative pada hubungan Niall dengan Demi nantinya.
Maafkan aku Tay.
“okay, sekarang ayo kembali kerumah sakit, Mrs.Arifa”.
Ia memberikan senyuman untuk pertama kalinya setelah beberapa hari
kami berseteru.
Aku membalas senyumnya, ia menggandengku menuju motornya
yang terparkir tepat di depan rumahku.
Sejenak aku merasakan kerinduan pada rumahku sendiri,
rumah yang berdiri tegak tepat disamping sebuah rumah yang
penghuninya juga tak kalah kurindukan. Aku tersenyum sesaat, setelah
akhirnya kudapati sesuatu yang ganjil tepat berada di bawah pintu
rumahku. Aku mengernyitkan mataku, “sebentar, Tay. Boleh aku
pulang? Aku ingin mengambil sesuatu didalam”. Pintaku.
“okay, kuantar”.
“tidak, kau tunggu disini saja, aku hanya sebentar”.
Larangku.
Taylor menaiki motornya dan menyalakan mesinnya,
bersamaan dengan langkah kakiku yang berjalan mendekati benda itu.
Aku menunduk setelah sampai dihadapan pintu, kuambil benda berwarna
hijau itu yang ternyata sebuah amplop yang berisi surat. Sudah hampir
lima tahun aku tinggal di London, baru kali ini aku menerima surat
yang diletakkan di bawah pintu. Surat dari.. “Niall?”. Desisku
setelah membalik amplop itu dan menemukan sebuah goresan nama.
Namun saat aku mulai membuka lipatan surat itu, Taylor
mengklaksonkan motornya “ada apa, Sher?”. Panggil Taylor yang
mungkin bingung karena sedari tadi aku hanya berdiri di depan pintu.
Buru-buru kumasukkan amplop itu kedalam sakuku, kemudian menggeleng
pasti padanya.
Mungkin akan kubaca nanti setelah menjalani semua
'ritual' itu, butuh tempat yang tak ada Taylor disana. Karena
kebiasaannya yang datang tiba-tiba lalu membaca diaryku begitu saja
itu membuatku agak trauma.
_Sherine pov End_
~NLS~
|Three Month Later|
_Niall pov_
Percaya atau tidak, sejak aku menyadari siapakah cinta
sejati ku itu, tiba-tiba ia menghilang bagai tertelan Black Hole.
Sudah lebih dari dua bulan aku tak pernah melihat Sherine dirumahnya,
entah aku yang jarang pulang kerumah dan saat aku dirumah ia tak ada,
atau ia yang memang tak pernah pulang sejak kejadian itu. Bahkan live
report yang sering memunculkan wajahnya di breaking news televisi itu
kini tak menampakkan wajahnya lagi.
Tapi setidaknya, aku sudah memberitahukan kesibukanku
ini padanya dalam surat yang kutinggalkan yang kini sudah tak berada
di bawah pintunya lagi. Tak sabar aku ingin bertemu dengannya dan
melihat ekspresinya setelah membaca surat pertamaku untuknya itu. Apa
ia akan memberikan ekspresi yang aku harapkan? Entahlah.
Ingin sekali untuk menelfon dan menanyakan kabarnya,
tapi selalu ku tahan. Aku tak bisa, aku takut menerima kenyataan
bahwa Sherine kini bersama Taylor, menghilangnya ia selama ini karena
untuk menghabiskan sebagian waktunya mengurus pria itu.
Sakit, ya aku bisa meraskan rasa sakit yang teramat
sangat disini, di hati ini. Apa ini tak cukup untuk membuktikan bahwa
aku benar-benar mencintainya? Penyesalan memang harus datang
belakangan kah? Ingin rasanya kuputar waktu untuk menolaknya
memutuskan kesepakatan anehnya itu. Bodoh sekali aku menuruti
perkataanya saat itu, harusnya aku tak boleh melepaskannya, memang
seharusnya tak boleh!
~NLS~
Landed , dari Tokyo, Jepang. bersama teman-temanku untuk
show juga project video clip kami. Hanya lima hari, selanjutnya ke
singapore lalu kembali ke london. Dan sekarang, kuharap sesampainya
aku dirumah, aku bisa melihatnya lagi, menanyakan pendapatnya tentang
isi surat yang kutinggalkan di bawah pintu rumahnya waktu itu.
Berharap ia akan merasakan hal yang sama dengan apa yang kutulis saat
itu.
Kuturunkan ransel dan tasku dari dalam bus yang
menjemputku juga the boys dibandara tadi, “apa ia dirumahnya?”.
Tanya Harry yang kepalanya muncul dari jendela bus di ikuti Louis,
sedangkan Zayn dan Liam sudah diantar lebih dulu kerumahnya.
“maybe no, lampunya menyala”. Ucapku menunjuk lampu
depannya yang menyala pada terangnya siang ini.
Aku langsung masuk ke dalam rumah setelah bus tersebut
meninggalkan pekarangan rumahku, menggantung mantelku lalu mencari
pintu kamarku yang sudah ku tau letaknya, membukanya, menghampiri
kasur empuk yang sudah menanti kedatanganku ini, menjatuhkan diriku
diatasnya, “hhhaaahh..”. Desahku, melepaskan penat dan letih.
Merasakan dinginnya udara karena musim salju yang hampir berakhir
ini.
Aku bangkit lagi, berjalan ke ruang tengah menuju
perapian untuk membakar tumpukan kayu agar membantu menghangatkan
tubuhku. Membuat hot choclate agar menambah rasa hangatnya sampai
kedalam tubuh.
Bersandar di sofa sambil menikmati secangkir hot
choclate dan beberapa snack yang ku beli di bandara tadi. Tak sengaja
mataku beralih ke jendela dinding bening ruang tengahku yang
menghadap ke jendela kecil kamar Sherine, kuperhatikan lagi jendela
tersebut, menangkap siluet hitam dari balik tirai kamarnya berlalu
lalang, “Sherine?”.
Kuletakkan cangkir itu di atas meja dan meninggalkan
snack yang belum kuhabiskan di sofa untuk mengambil mantelku dan
mengenakannya kembali. Karena Sherinelah aku bisa melakukan itu, jika
tidak aku akan mengutamakan snack ku ketimbang apapun itu.
Lampunya masih tetap menyala, tumben sekali ia nyalakan
lampunya saat ia dirumah. Aku sudah berdiri tegak di depan pintu.
Jangan fikir aku hanya berdiri saja sedari tadi, aku sudah mengetuk
pintunya berkali-kali, namun tetap tak ada respon dari si pemilik
rumah ini. Padahal aku yakin aku melihat siluetnya di jendela tadi.
Fikiran buruk pun masuk ke dalam otakku, takut terjadi
sesuatu padanya aku berjalan kesamping rumahnya, bertujuan untuk
mengahampiri jendela kamarnya. Melalui jalan kecil yang menjadi jarak
pemisah antara rumahku dengan rumah Sherine.
Ku ketuk pelan kaca jendelanya, agar tak menimbulkan
retakkan atau bahkan pecah. Dan tak perlu menunggu lama siluet hitam
itu mendekat ke jendela, mengibas tirai hijau bercorak daun-daun
ganja, dan muncullah sosok gadis yang selama hampir tiga bulan
terakhir ini tak nampak dalam pandanganku.
Tapi, ia sedikit berbeda. Tidak, tidak sedikit, bola
mata coklat gelapnya sudah terhalang oleh sebuah kacamata berframe
sama dengan tirainya, tubuhnya semakin kurus. Bukan hanya itu, jenis
rambutnya pun tak seperti dulu, Hitam Lurus. Melainkan, Black curly?
Disambut dengan senyum yang tak mampu menutup rapat
giginya, ia menyapaku, “hey, Niall? Kenapa tak lewat depan? Kau mau
mencuri ya!”. Tanyanya membuatku meninggikan alis kiriku.
“aku sudah mengetuknya berkali-kali, tapi..”.
Jawabku, menggeleng setelah menyelesaikan kalimat itu, “hah? ohh,
sorry Niall. Mungkin kau mengetuk saat headset ku masih menempel”.
Jelasnya, sedikit gugup, “noproblem”.
“ada apa kau kerumahku?”. Tanyanya.
“ada yang ingin ku bicarakan padamu, apa kau sibuk?”.
“umm.. tidak, masuklah, akan kubukakan pintunya”.
Akhirnya, sebelum ia menutup jendelanya kembali. Namun cukup lama ia
membukakan pintunya untukku, tapi aku tetap menunggu. Sedang sibuk
mungkin ia dengan pekerjaannya.
Masuklah kini aku kedalam rumahnya setelah ia membuka
pintunya. Cukup terkejut aku memandangi postur tubuhnya sekarang.
Yang kulihat di jendelanya tadi tak seburuk apa yang kulihat saat
ini. Tubuhnya menciut, maksudku, ia terlalu kurus untuk gadis
seusianya. Sedikit khawatir aku padanya, apa ia sedang sakit?
Aku menggantung mantelku,“kau mau bicara apa, blonde
panda?”. Tanyanya bergerak menuju dapur untuk membuatkan ku
minuman, sedangkan aku menunggunya di sofa ruang tamu, sangat hangat.
Kulihat perapiannya membakar begitu banyak kayu-kayu didalamnya, ya
cuaca memang sedang begitu dinginnya, “kau baru pulang? Kulihat
tadi lampumu masih menyala”. Tanyaku.
Ia kembali dengan secangkir Hot Mocachino untuk ia
berikan padaku, “benarkah? Yatuhan, pasti anak itu lupa
mematikannya”. Serunya menghampiri saklar pada dinding dan
menekannya. Sempat terkekeh saat ia mengatakan bahwa ia tak sendiri
dirumah ini, apa ia bersama pria itu?
“anak itu?”. Tanyaku.
“oh, she's my friend. Dia menginap sejak dua hari yang
lalu, tapi sekarang ia sedang pergi untuk berbelanja perlengkapan
dapur”. Jelasnya santai, dan aku mengangguk mengerti. Wanita
rupanya.
“rambut yang bagus”. Pujiku saat ia sudah kembali
duduk dihadapanku. Ada dua sofa berhadapan ia lebih memilih untuk
duduk dihadapanku, wajah yang nampak tetap terlihat segar, dan masih
dengan sweatter Hitam yang ia kenakan juga syal dengan warna senada,
namun tak mampu menutupi ukuran tubuhnya yang benar-benar terlihat
sangat kurus.
“ah? Benarkah? Aku hanya mencobanya saja, bosan dengan
yang lama”. Ucapnya seraya membenarkan helai demi helai rambut yang
menutupi kedua telinganya.
Belum sempat aku bertanya kembali tentang tubuhnya yang
seketika menciut ini, ia lebih dulu memberikan topik pembicaraan
lain, “kalian dari Jepang? Bagaimana disana? Kau menikmatinya?”.
Kuhirup Mocachino itu yang masih mengepul, “ya, tapi
banyak makanan yang tak cocok padaku dan mereka. Kau tau? Zayn sempat
muntah setelah mencoba sushi, hingga membuat perutnya sakit
semalaman”. Ceritaku padanya, mencoba membuat suasana tak kaku
karena kami telah beberapa bulan tak saling pandang seperti ini.
“hhahaha.. benarkah?”. Tawanya begitu lepas, rindu
akan tawa ini, tawa yang ia keluarkan karena ku.
“ya.. tapi kami menikmati itu. ..... bagaimana
denganmu? Kemana kau selama ini? Tiba-tiba kau menghilang, dan kau
tak terlihat di live reportmu lagi”. Tanyaku mulai serius,
membenarkan posisi dudukku agar lebih dekat padanya.
“umm.. aku, aku dibelakang layar. Kami bergilir”.
Jawabnya.
“dan kenapa kau jarang pulang?”. Tanyaku lagi,
seraya menatap tajam matanya hingga membuatnya terlihat sedikit kikuk
untuk menjawab.
“aku, aku sering lembur dan tak sempat untuk pulang
kerumah, jadi aku menginap dirumah rekan kerjaku. Ya”. Jawabnya
diakhiri senyum simpulnya.
“itu sebabnya kau terlihat begitu kurus sekarang, kau
sering lembur bekerja?”. Tebakku.
“ya, kau benar. Kenapa? Kau merindukanku, ya?”.
Ucapnya mencoba mencairkan suasana yang kubuat dingin tadi. Sengaja
kubuat agar aku bisa dengan mudah membuka pembicaraan untuk membahas
suratku yang sudah pasti telah dibacanya.
“ya”. Jawabku membuatnya terdiam, namun hanya
sesaat.
“ah, kau bilang kau ingin membicarakan sesuatu padaku.
Apa, Niall?”. Akhirnya, ia yang membuka pembicaraan ini, jadi
dengan mudah aku bisa memulainya.
“apa kau sudah membacanya?”. Tanyaku.
“membaca?”. Sherine balik bertanya. Apa? Apa ia tak
mengerti maksudku? Kukira, kekikukan ia tadi karena ekspresinya yang
ia keluarkan setelah membaca surat itu. Tapi..
“membaca surat yang ku tinggalkan dibawah pintu
rumahmu”. Jelasku, berharap ia akan mengingatnya dan memberikan
balasan dari suratku itu, balasan yang berisi jawaban yang aku
harapkan.
“surat? Ohh.. i'm sorry, Niall. Aku tak menerima surat
apapun dari mu”. Aku terkekeh menatapnya tak percaya. Jadi? Sherine
belum membaca surat itu? Lalu, kemana perginya surat itu? Apa mungkin
surat itu tertiup angin? Tapi, bagaimana bisa? Bodoh, seharusnya aku
tak menyelipkannya dibawah pintu itu, harusnya aku masukkan saja
surat itu kedalam.
Tapi, bukankah didalam surat itu aku berjanji untuk
mengatakan langsung padanya? Ya, aku akan menepati janji itu,
walaupun ia tak membaca isi surat itu, aku yang akan membacakan surat
itu untuknya.
Belum sempat mengatur kata demi kata agar menjadi sebuah
kalimat pembuka, memutar otak mengingat apa yang kutulis dalam
suratku untuknya waktu itu, sekilat cahaya mengganggu mataku. Aku
mencari asal kilatan itu yang ternyata berasal dari hadapanku, di
tangan Sherine.
Tepat melingkar di jari manis kirinya. Sebuah cincin
perak berlian?
“kau, cincin?”. Sambarku begitu saja setelah melihat
benda yang berhasil mencuri pandanganku dari Sherine, berhasil
membuyarkan fikiranku akan surat dan janji yang kubuat untuk Sherine.
Aku tau Sherine jarang, bahkan tak pernah memakai cincin di jarinya.
Hingga muncullah sesuatu yang kutakutkan selama ini dalam fikiranku.
Sesuatu yang kuharap tak akan pernah terjadi. Namun....
“astaga, Niall. Aku hampir lupa. Maaf, aku tak
mengabarimu tentang ini. Habis, kau menghilang tanpa pamit denganku,
jadi aku tak mengundangmu waktu itu ke pesta pertunanganku”. Apa?
Tadi dia bilang apa?
“apa? Pertunanganmu?”.
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 12 ;)




0 comments:
Post a Comment