Title:
#NLS “Princess
Nose And True Love” {Part 23}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Author pov_
Sherine melihat sudut bibir Niall yang terluka, lalu ia
menyentuhnya dengan lembut dan membuat Niall meringis menahan perih,
“luka ini, kau dapatkan dari pukulan Taylor yang membalas
pukulanmu?”. Tanya Sherine.
“hanya luka kecil”. Jawab Niall menyingkirkan ibu
jari Sherine perlahan dari lukanya seraya tersenyum singkat. Tak
sampai disitu, Niall memperhatikan Sherine yang terus melihat lukanya
itu. Menyeret Niall membalas tatapan itu dengan memperhatikan bibir
tipis Sherine kini.
Sherine menyadari hal itu saat Niall mencoba mendekati
wajahnya perlahan, entah Sherine terus membiarkan posisinya seperti
itu, tak bergerak sedikitpun sampai hidung Niall sudah menyentuh
hidungnya.
Hingga Sherine terkejut akan sentuhan yang belum
sempurna itu, memaksanya memalingkan wajahnya dan menjauh dari wajah
lelaki Ireland disampingnya.
Itu membuat suasana diruang tamu Niall menjadi sunyi dan
sedikit canggung. Lain lagi dengan Niall yang menyesali first kissnya
itu dengan Sherine telah gagal. Niall menggigit-gigit bibirnya
sendiri, seraya menatap kosong seisi ruang tamunya. Serta Sherine
yang masih menunduk melihat buku-buku jarinya yang memutih akibat
cengkramannya sendiri, seraya mencari topik pembicaraan lain agar
mengusir jauh suasana awkward ini.
“Christie bilang, Tay juga memukul perutmu. Apa kau
tak apa-apa?”. Tanya Sherine buru-buru yang akhirnya menemukan
topik pembicaraan lainnya.
“aku masih bisa makan, Sher. Aku tidak apa-apa.
Sekarang kau pulang, bersihkan wajahmu dan kita pergi. Aku akan
mengajakmu kesuatu tempat”. Ucap Niall yang membantu Sherine
bangkit dari sofanya dan mengantarnya keluar. Ia tak mau membuat
gadis itu terlalu khawatir padanya, walaupun ia senang atas
perhatiannya tersebut, tapi Niall tetap ingin Sherine untuk fokus
dengan penyakitnya saja, tak perlu memikirkannya.
“Niall?”. Sapa Sherine berbalik setelah menuruni
anak tangga rumah Niall.
“apa? Kau mau minta maaf lagi? Berikan aku satu truk
Chips dan aku akan memaafkanmu. Cepat pulanglah”. Canda Niall yang
berhasil menciptakan senyum lebar Sherine.
“itu yang ingin kulihat dari wajahmu setiap hari,
Sher. Senyum diatas kebahagiaan, bukan kesedihan”. Ucap Niall saat
Sherine telah memasuki rumahnya.
_Author pov End_
~NLS~
_Sherine pov_
Kini aku sampai di suatu tempat, sebuah gedung yang
cukup besar. Aku bersama Niall, tepatnya pria ini yang mengajakku ke
tempat ini. Aku sangat bahagia, hari ini aku bisa pergi bersamanya,
tanpa ada beban yang ku topang seperti biasanya. Beban itu sudah
berkurang, hampir tak ada tepatnya. Aku begitu lega telah mengatakan
semuanya pada pria blonde itu, mengakui semua kebohonganku, rahasiaku
yang kututpi darinya, semuanya.
Taylor benar, harusnya aku tak perlu melakukan hal itu
padanya, aku lebih menikmati sisa hidupku jika aku terus seperti ini,
tanpa ada beban, tanpa ada perasaan bersalah, tanpa harus
membohonginya.
Hanya satu yang belum sempurna kurasakan saat ini. Ia
belum mengatakannya, mengatakan bahwa ia mencintaiku, masih
mencintaiku. Tapi aku masih takut, aku masih takut Niall mencintaiku
yang tak bisa sempurna mencintainya. Karena penyakit ini, aku akan
memiliki sedikit sekali waktu untuknya. Apa aku harus membiarkan
perasaan ini tak sempurna? Apa aku harus tak membalas perasaannya?
Dengan begitu, aku bisa tenang meninggalkannya suatu saat nanti,
tanpa adanya beban karena merasa tak sempurna untuk mencintainya.
Kukira kami akan menghabiskan waktu di taman bermain,
jalan-jalan di taman dan berakhir dengan makan malam. Namun nyatanya
tidak. Seorang gadis kecil dengan tudung kepala hitam bulunya
meraih tanganku,
aku menatap Niall, ia mengangguk membiarkan aku
mengikutinya. Dan aku di bawa gadis itu pergi masuk ke subuah ruangan
yang cukup besar dengan dipenuhi anak-anak seusianya. Aku terkejut di
antara mereka ada seorang gadis yang tengah berdiri dihadapan cermin,
gadis itu tengah mengambar sesuatu pada cermin dihadapannya. Rambut,
karna gadis itu tak tertutup sehelai rambutpun di kepalanya.
Menyadari kedatangnku ia berbalik dan menghampiriku,
meraih tangan kananku, ia ikut menuntunku seperti gadis bertudung
disamping kiriku. Mereka mengajakku duduk disalah satu ranjang, lalu
aku memperhatikan disetiap sudut ruangan itu. Mereka yang ada di
ruangan itu, mereka semua sama denganku.
Aku baru menyadari Niall membawaku ke tempat ini, tempat
dimana semua anak-anak ini adalah anak-anak pilihan, anak-anak yang
terlihat tegar diatas penderitaan mereka. Yang mereka tau hanya
bermain, karena hanya itu yang bisa mengusir semua penderitaan
mereka. Dengan bermain, mereka bisa melupakan rasa sakit di tubuhnya.
Gadis bertudung hitam tadi berdiri dihadapanku, “bisakah
kau bernyanyi untuk kami?”. Pintanya seraya menggenggam lembut
tanganku, “bernyanyi? Aku tak bisa bernyanyi”. Ucapku.
“tapi, kekasihmu itu seorang penyanyi bukan”. Sahut
gadis yang duduk di samping kiriku, gadis yang kehilangan rambut
indahnya.
“kekasih?”.
“ya, dia”. Gadis itu menunjuk ke arah pintu, rupanya
Niall bersama sebuah gitarnya yang tergantung di belakang tubuhnya
memperhatikanku sedari tadi. Niall tersenyum padaku.
“ada yang mau ikut denganku bermain diluar?”. Seru
Niall hampir berteriak berlebihan. Dan anak-anak itupun antusias
mengikuti Niall dari belakang.
Kami sampai di sebuah taman yang cukup luas, taman yang
beralaskan rerumputan hijau segar, serta beberapa pohon palem juga
kicauan burung yang sesekali hadir meneduhkan suasana taman ini. Dan
yang lebih menakjubkan lagi, taman ini di penuhi bunga di setiap
tepinya, yang membuat kupu-kupu cantik tak bisa pergi darinya.
Di tengah taman, anak-anak itu mengelilingi Niall yang
sudah mengambil posisi yang tepat untuknya bermain gitar bersama
mereka, “heyyuup! Kemarilaah, kalian mau aku bernyanyi apa?”.
Ucap Niall yang tak hanya gitar di pangkuannya kini, tapi juga
seorang anak laki-laki yang memiliki kekurangan yang sama dengan yang
lainnya.
“live while were young!!”. Sahut salah satu gadis
dari mereka.
“tidaaak! Kalau yang itu aku tak hafal!”.
“memangnya aku menyuruhmu bernyanyi?”.
“wohooo, sudah, kita akan bernyanyi bersama-sama.
Sekarang lagu apa yang kalian semua bisa?”. Sahut Niall yang
menengah perseteruan keduan anak tadi.
“baby!”.
“Justin Bieber? Aku juga suka itu! Ayo mulai
bernyanyi!”. Uca Niall begitu antusias seperti anak-anak yang
mengelilinganya.
“yyyeeeeey!”.
~NLS~
Ku lepaskan penutup mata ini, lalu menyerahkannya pada
anak laki-laki yang bermain bersamaku. Setelah lelah berlari aku
memilih duduk menyendiri di sebuah gazebo yang tak terlalu besar, aku
masih mengatur nafasku, aku berhasil melupakan tentang penyakit itu
selama aku bermain bersama mereka. Bahkan aku bisa mendengar kembali
suara tawa terbahak-bahakku. Aku tersenyum sendiri kini.
Aku melihat sisi kiriku. Niall masih sibuk dengan
beberapa anak gadis yang berusaha menangkap kupu-kupu namun tetap tak
dapat juga. Namun tatapanku itu seperti pengait pada pancingan, Niall
tau saja aku tengah memperhatikannya. Ia menghampiriku, lalu duduk
disampingku.
“maaf, aku telah membuatmu kelelahan”. Ucapnya,
namun dengan cepat aku menggeleng meyakinkannya bahwa aku menikmati
kelelahanku ini.
“aku bahagia disini. Thank You, Niall”. Ucapku.
“dia yang menuntunmu tadi..”. Seru Niall yang
mengarahkan pandangannya pada seorang gadis kecil bertudung hitam
yang tadi menuntunku. Aku menunggu Niall meneruskan kalimatnya.
“.. dia terkena AIDS”. Membelalak mataku kini. Aku
menatap Niall tak percaya. Anak sekecil itu, kenapa bisa tertular
virus mematikan itu?
“penyakit itu di tularkan ibunya sendiri, dan ibunya
baru meninggal dua hari yang lalu”. Aku hanya terus memandangi
gadis kecil itu seraya mendengar setiap kata yang keluar dari mulut
Niall. Aku tak mengerti gadis kecil itu bisa setegar apa yang ku
lihat kini. Ia bisa tertawa seperti yang lainnya, bahkan seperti
seorang gadis kecil yang hidupnya sempurna tanpa penyakit yang
menggrogoti tubuhnya.
“cukup tegar bukan?”. Lanjut Niall menilainya. Aku
mengangguk memperhatikan candanya gadis kecil itu.
“same with you”. Seru Niall kembali, yang kini
menatapku. Aku membalas tatapannya, raut wajahnya berubah, tak bisa
dibilang ceria lagi, yang ada kesedihan yang menyeruak dalam hatinya.
Ini yang tak ingin kulihat dari wajahnya. Aku hanya ingin melihatnya
selalu tersenyum, bukan menangis di dalam hati.
“kau tau satu perbedaan antara gadis itu denganmu?”.
Lanjut Niall. Aku terdiam, menunggunya menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Love”. Sepasang bibirku yang sedari tadi mengatup
terbuka sedikit kini. Aku lebih memilih mengalihkan pandanganku
kedepan ketimbang menatap mata biru itu lebih lama lagi. Aku takut ia
mengatakan sesuatu yang tak ingin ku dengar, mengatakan apa yang
terdapat dalam suratnya kala itu, bahwa ia mencintaiku.
“gadis itu memiliki banyak cinta di sekitarnya,
teman-temannya yang sangat mencintainya, hingga mampu membuatnya
bangkit dari kegelapan yang menghantuinya, kesendirian yang
merasukinya, dan kesedihan yang mengisakkannya. Tapi tidak denganmu,
Sher”. Aku kembali menatapnya, mencerna setiap kalimatnya, membuat
barisan gambar dalam kepala ini yang membantuku berfikir bahwa selama
ini aku memang terlihat bahagia namun aku tak menikmati sama sekali
kabahagiannku seperti halnya gadis kecil ini.
“kenapa kau malah meninggalkan cintamu disaat
seharusnya kau membutuhkan cinta?”. Tanyanya melembut, semakin
lekat menatapku yang mencoba mengalihkan pandangan darinya.
Kini Niall bangkit dan pindah kehadapanku. Ia bertekuk
lutut, membuatku seribu kali menahan degup jantung yang terus
bergemuru.
“hari ini tanggal sepuluh. Kau tau? Hari ini tepat
satu tahun berakhirnya hubungan itu. Hari dimana
kau menyuruhku untuk menemukan cinta sejatiku”. Ucap Niall, tak
menyangka aku, ia mengingat detilnya hari itu. Tanggal sepuluh
februari, hari dimana rasa pahit yang kurasakan karena pertama
kalinya aku membohonginya.
Ditengah teriknya matahari di siang
ini, masih ada angin yang menyejukkan bumi. Seketika tiupan angin itu
meniup kami, membuat helai rambut palsuku ini dan rambut Niall
mengikuti arus kencangnya angin itu. Mataku terganggu akan helai
rambut palsu ini yang masih tertiup semilir angin. Niall, tiba-tiba
membantuku menyelipkan rambut ini ke telinga, “Sher, aku tak akan
membiarkan tahun-tahun berikutnya ku hitung sebagai tepat dua tahun,
tiga tahun, empat tahun, dan seterusnya pisahnya hubungan kita”.
Lanjut Niall, aku menelan ludah, aku mengerti apa maksudnya ia
mengatakan hal itu.
“tapi sebagai tepat hubungan kita”.
Membeku kini aku dibuatnya. Ia memegangi tangan kananku,
memasukkan sebuah cincin yang terbuat dari tangkai bunga yang lunak
dan ditengahnya terdapat bunga merah kecil. Cincin yang sepertinya
buatannya sendiri.
“Sherine, I love you, will you marry me?”. Jantungku
semakin berdegup tak terkontrol lagi, gematar bibirku tak bisa
mengatakan apapun. Aku benar-benar tak terfikir bahwa ia akan
mengatakan hal itu saat ini juga. Aku bingung, apa aku harus menangis
atau tersenyum bahagia?
Apa yang harus ku jawab? Aku benar-benar tak bisa
mengatakan apapun, aku bingung. Di lain sisi, aku, aku begitu
bahagianya ia mengatakan bahwa ia masih mencintaiku, dan ia
melamarku! Tapi, apa jadinya jika aku menjawab 'I will'? Apa aku siap
untuk selalu melihatnya menangisiku setiap hari? Ikut menahan perih
saat sebuah jarum menusuk kulitku? Menghabisakan waktu setiap hari di
rumah sakit dan tak bisa jauh dengan obat-obatan? Lalu kapan ia ada
waktu untuk bahagia?
Aku tak ingin ia merasakan hal yang sama denganku, yang
hanya termenung menghabiskan waktu didalam rumah, di larang keluar
rumah terlalu lama. Aku tak bisa, aku tak bisa membiarkan ia tetap
mencintaiku atau bahkan menikahiku.
“Sherine? Katakan sesuatu. Maukah kau menikah
denganku?”. Ulangnya lagi. Aku menarik nafas, perlahan ku gelengkan
kepalaku, seraya menggigit lidah ini agar bisa menahan tangis lagi.
Niall menundukkan kepalanya, aku melihatnya memijat
keningnya, lalu tak lama ia mengangkat kepalanya lagi, “kenapa,
Sher? aku sudah tau semuanya, tapi kenapa kau tak mau memberiku
kesempatan untuk mencintaimu kembali?”. Ucapnya yang disertai satu
tetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Bibirnya bergetar
menahan air mata yang ingin keluar sejadi-jadinya, namun ia tak
sekuat aku, ia tak bisa menahannya hingga derasnya air mata itu
keluar juga.
“kau tak ingin aku direpotkan olehmu? Dengar, Sher.
Aku mencintaimu, apapun akan kulakukan untuk menjagamu, dan aku tak
merasa dibebani olehmu, bahkan tak pernah terbersit dalam fikiranku.
Itu karena aku mencintaimu, aku tak perduli tentang kondisimu, yang
ku inginkan adalah terus bersamamu. Sher, you're my true love!”.
Lirih suaranya ku dengar. Merinding aku mendengar setiap
perkataannya.
Aku yang melihat wajahnya memerah karna tangisan itupun
ikut menangis juga kini. Pertama kalinya kulihat ia menangis seperti
ini, “diam! Jangan menangis! Wajahmu jelek jika kau menangis
seperti ini, Niall”. Ucapku begitu saja, aku benar-benar tak ingin
melihat air matanya membanjiri pipinya.
“so, will you marry me?”. Tanyanya lagi. Aku masih
diam tak menjawab, aku bingung, aku benar-benar bingung apa aku harus
membalas cintanya?
“jawab, Sher”. Pintanya, semakin menggenggam erat
tanganku. Aku menelan ludah, dan begitu saja air mata ini menetes
lebih banyak.
“Sherine, aku mohon jangan menangis, aku sudah
berjanji pada diriku sendiri tak akan membuatmu menagis”. Secepat
kilat Niall menangkap tubuhku dan memelukku erat, aku membalas
pelukannya. Kami menangis bersama, bahkan kami saling meninggikan
suara tangisan kami. Ingin sekali ku hentikan tangisan ini karena
semua anak-anak yang tadi sibuk bermain kini memperhatikan kami yang
menangis seperti anak kecil. Aku terus mencoba menahannya dengan
memeras kerah Niall, tapi tetap tak bisa, Niall yang membuatku tak
bisa menghentikannya, punggungnya yang ku rengkuh ini terus bergetar.
“ini alasanku menutupinya darimu, bodoh! Aku juga tak
ingin melihatmu menangis layaknya bayi seperti ini”. Ucapku
memukul-mukul punggungnya. Ia melepaskan pelukannya, lalu
membersihkan air matanya.
“tapi kenapa kau harus memutuskan untuk mengakhiri
hubungan? Kau fikir aku suka dengan keputusanmu itu? Hah”. Protes
Niall, menatapku tak suka.
“lalu kenapa kau tak menolaknya? Kenapa kau malah diam
dan pergi, seolah kau benar-benar hanya menyukaiku?”. Balasku.
“itu yang ku sesalkan”. Niall kembali menundukkan
kepalanya, “aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu, dan aku begitu
bodoh untuk bisa merasakan perasaanku sendiri yang sebenarnya,
maafkan aku”. Niall menangis kembali, wajanya ia tutup rapat dengan
tangannya lalu meletakkan kepalanya di atas dengkulku.
“No! Berhenti mengatakan hal itu, aku yang memulainya,
Niall. Aku yang salah, maafkan aku”. Aku mengangkat kepalanya,
matanya memerah, hidungnya pun juga. Aku juga melihat tanganku kini,
jemariku memerah, aku baru sadar tubuhku memerah sekarang.
“Sherine? Tanganmu?”. Niall juga baru menyadari hal
itu, ia juga memperhatikan wajahku, entah apa yang dilihatnya tapi
sepertinya aku mengerti, wajahku merah pasti bukan karna menangis,
tapi ini karana aku melupakan sesuatu.
“aku lupa, menggunakan sunblockku”.
_Sherine pov End_
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 24 ;)




0 comments:
Post a Comment