Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 18}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome to my Imagination|
Hope you like this guys ;)
~NLS~
_Author pov_
Niall menggigit kuat bibirnya agar ia tak terdengar
seperti bayi yang berteriak meminta botol susunya. Matanya sudah
memerah, pundak Christie pun sudah basah akan banjirnya air mata si
blonde bermata biru itu.
Lama ia terisak, tapi Christie tetap membiarkan
pundaknya basah. Sampai nyeri di kakinya pun tak di perdulikannya.
“maafkan aku, Niall. Karena aku juga ikut menutupinya dari mu. Aku
tak memberitahukan keberadaanmu pada Taylor, karena aku menjaga
persahabatanku dengan Sherine”. Ucap Christie menyesal.
Niall bangkit kini, mengusap sisa air matanya. Mencoba
terlihat kuat sekuat Sherine yang selama ini menahan itu semua
seorang diri.
Christie melanjutkan penuturannya kembali, “saat di
pesta pertunangan itu, aku melihatmu. Dan aku baru tau ternyata Billy
temanmu juga.”. Ucap Christie tersenyum, seraya membersihkan luka
yang terdapat di sudut bibir Niall. Niall mengingat saat ia pergi ke
pesta pertunangan temannya itu dan ia melihat pria yang kini duduk di
meja kerja di sampingnya mengelus lembut hidung Sherine.
“Aku membawa Taylor untuk mengantarku saat itu, aku
bisa melihatmu menatap tajam kekasihku yang saat itu sedang
menjelaskan kerja virus kanker dalam rongga hidung Sherine. Aku bisa
melihatmu begitu cemburu melihat Taylor yang mengelus lembut hidung
Sherine. Begitu juga denganku yang sama cemburunya denganmu...”.
Gadis itu palingkan tatapannya ke mata Taylor yang memperhatikannya
menjelaskan kebenarannya. Ingin rasanya Taylor mengatakan bahwa ia
juga cemburu saat gadisnya itu meminjamkan bahunya pada pria blonde
ini dan memilih membersihkan luka pria itu ketimbang kekasihnya
sendiri.
“.. Tapi aku mengenal Taylor. Aku tau benar ia, ia
begitu menyayangi pasiennya, terlebih saat ia tau bahwa Sherine
adalah sahabatku,..”. Lanjut Christie. Ya, dan Taylor mengenal
Christie, bahwa cinta gadis itu hanya untuk dirinya.
“.. jadi, jangan kau salahkan dirinya atas semua
rahasia ini. Termasuk cincin ini..”. Christie menunjukkan cincin
yang melingkar di jari manisnya. Niall mengenal cincin itu. Lain lagi
dengan Taylor yang tak mengerti maksudnya.
“.. akulah yang sebenarnya Taylor tunangkan. Bukan
Sherine”. Taylor kini yang terkejut, ia baru mengetahui hal itu.
Jadi selama ini, Niall menganggapnya kekasih Sherine, 'pantas saja ia
memukulku begitu keras tadi'. Batin Taylor seraya menahan nyeri di
sudut bibirnya.
Dalam hati Niall mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia
begitu bodoh sampai tak menyadari hal itu. Merasa bersalah ia akan
semua hujatan yang ia tancapkan kepada Sherine belakangan ini,
menyesal telah mengatakan bahwa Sherine telah mempermainkannya. Niall
berjanji tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri sampai ia tau
bahwa Sherine terluka akan sikapnya. Terlebih saat terakhir ia
bertemu dengan gadis itu. Niall menyesal telah bersikap dingin
padanya, dan hampir menolak ajakannya untuk menghabiskan waktu sehari
bersamanya yang jatuh pada hari ini. Hari ini!
Niall melihat arlojinya. Jarum sudah menunjukkan pukul
setengah sebelas lewat dan ia hampir terlambat! Niall bangkit, “hari
ini, aku berjanji akan menghabiskan seharian bersamanya. Dan aku
hampir terlambat”. Ucap Niall pada kedua dokter dihadapannya.
“pasti untuk pamit yang terakhir kalinya padamu”.
Seru Taylor.
“apa?”. Kaget luar biasa Niall akan ucapan Tay itu.
“ya. Kau tau? Sherine akan pulang ke Indonesia lusa.
Awalnya Sherine pulang karena kakaknya kecelakaan, namun Sherine
memilih untuk pulang dan tak akan kembali lagi”. Jelas Christie,
membuat Niall terpejam menahan sakit dan air matanya. Ia sungguh
lelaki yang tak berguna, hal sekecil itu saja ia tak tau, padahal ia
orang terdekat Sherine, bertetangga, dan saat ini ia sahabat Sherine.
Namun nyatanya Niall merasa bahwa dirinya bukanlah sahabat yang baik,
apa lagi kekasih yang baik?
“okay, Niall. Sebaiknya kau cepat. Belakangan ini
Sherine terlalu sensitif, ia tak suka menunggu lama”. Lanjut
Christie memberikan senyum simpulnya. Niall mengangguk dan berbalik
untuk membuka pintu. Namun sebelumnya ia memutuskan untuk bertanya
satu hal lagi pada mereka, satu hal yang ia harap mendapatkan jawaban
yang pasti.
Niall memalingkan wajahnya kembali kepada Taylor,
“benarkah yang kau bilang? Tentang perasaan Sherine padaku.”.
Terbata-bata ia menanyakan hal itu. Takut yang tadi ia dengar dari
mulut Taylor itu salah.
Taylor berdiri menghampiri Christie lalu meraih pinggang
gadis itu, “satu hal yang lupa ku katakan padamu, Chris.”.
Christie nampak mengkerutkan alisnya.
“Diary hijau bergambar burung hantu itu pemberianku
untuk Sherine”. Lanjut Taylor.
“Tay. Terserah apapun yang lupa kau katakan, tapi
jangan pernah kau lupa mengatakan kau mencintaiku setiap hari. Dan
apa hubungannya dengan pertanyaan Niall tadi?”. Ucap Christie.
Taylor memalingkan wajahnya kembali menatap Niall, “jika
kau menemukan Diary itu, kau akan tau segalanya tentang perasaan
Sherine padamu. Dan kau tau? Namamu ada di setiap lembar diary hijau
itu. Karena ia menulis seakan ia bicara padamu.”. Jelas Taylor yang
kini membuat senyum Niall kembali. Dengan cepat ia keluar dari
ruangan itu, namun suara dalam ruangan itu masih terdengar olehnya
samar-samar.
“kau bahkan juga membaca isi Diary itu? Ha! Sekarang
katakan semua yang lupa kau katakan padaku, Taylor Lautner?!”.
_Author pov End_
~NLS~
_Niall pov_
Aku sudah menelfon Liam untuk meminta maaf karena tak
bisa mengantarnya pulang. Dan Liam juga mengatakan bahwa ia, Louis
dan Harry sudah tau semuanya dari Zayn, tentang penyakit yang Sherine
derita selama ini. Mereka menintipkan salamnya pada Sherine dan akan
menemuinya setelah urusanku dengan Sherine selesai.
Aku keluar dari mobilku yang ku parkir tepat didepan
rumah gadis yang amat ku cintai. Gadis yang selama ini menutup
rahasianya rapat-rapat agar tak membebaniku yang sesungguhnya justru
membuatku terbebani. Gadis bodoh yang menahan perihnya air mata agar
tak terjatuh dihadapanku. Kenapa Sher? Kenapa kau menutupi semua itu
dariku dan tak mau membaginya padaku?
Aku mengetuk pintunya berkali-kali, namun ia tak kunjung
membukakannya. Padahal di arlojiku sudah menunjukkan pukul sebelas
lewat dua puluh menit. Aku kembali mengingat kondisinya yang Taylor
ceritakan tadi bahwa ia mudah lemah. Aku melompat dari samping tak
melewati tangga, terburu-buru ingin menghampiri jendela kamarnya.
Mengintip sesuatu yang ku harap ia tengah bersiap-siap akan
membukakan pintu untukku.
Untung saja tirainya terbuka dan aku bisa melihat dia,
“Sherine!”. Teriakku setelah mendapatinya tertidur pulas di bibir
ranjang dengan sisa darah yang keluar dari hidungnya.
Berlari kembali aku menuju pintunya, berniat untuk
mendobrak pintu itu yang aku tak yakin apa aku bisa atau akan
merintih kesakitan. Tapi Sherine tak berdaya didalam, sendirian, dan
banyak darah yang keluar dari dalam hidungnya. Itu semua membuatku
melupakan rasa sakit di tubuhku saat aku mencoba berkali-kali
mendobrak pintu hitam kayu itu.
Entah sudah keberapa kalinya aku menubrukkan tubuhku ke
pintu itu dan menahan rasa sakit di tangan ku juga perutku yang
kembali nyeri. Aku mundur menuruni tangga lalu berlari sekuat tenaga
untuk kembali menubruk pintu itu yang ku harap ini terakhir.
'BRUUGGGG!!'.
Berhasil! Namun aku terpelanting dan jatuh kelantai,
membuat dengkulku sama nyerinya dengan perutku. Tak ku perdulikan
itu, secepat kilat aku kembali bangkit dan berlari kekamarnya. Ku
lihat isi kamarnya berantakan dengan beberapa koper yang isinya
berceceran dimana-mana. Aku langsung meraih tubuh Sherine. Ku angkat
tubuh ringannya agar berbaring di atas ranjangnya. Ku buka kaosku dan
menggunakan kaos itu untuk membersihkan darah yang membanjiri hidung
sampai ke pipi kanannya.
Kini aku panik. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Aku
mencari sesuatu, entah apa. Aku harap aku menemukan sesuatu yang
dapat menolongnya. Aku melihat iPhonenya di atas meja, kuraih itu dan
mencari nomor Taylor Lautner. Mungkin pria itu bisa membantuku.
Harus!
Gemetar tanganku menggenggam iPhone itu ke telingaku,
tak bisa mengatur nafas yang tersengal-sengal ini sekarang. Aku
keringat dingin, sesekali menatap Sherine yang nampak cantik dan
berharap ia menunjukkan tanda-tanda kesadarannya.
'halo, Sher?'.
“Taylor! Ini aku.. aku.. aku tak tau harus melakukan
apa, Sherine terpejam dan mengeluarkan darah”. Ucapku yang mungkin
terdengar oleh Taylor seperti di kejar-kejar buldozer.
'okay okay, Niall. Kuminta kau tenang, ia akan
baik-baik saja. Sekarang ku minta kau atur nafasmu, lalu kau ambil
botol infus di laci samping ranjangnya yang tersisa. Cepat
sekarang!'. Perintahnya, dan buru buru ku buka laci itu sampai
terlepas. Ku lihat hanya ada sebotol infus dan beberapa obat-obatan
disana. Aku menangis kini melihatnya. Aku tak tau sampai separah ini
Sherine, tapi aku tak sedikitpun tau keadaaannya.
'Niall! Apa kau sudah menemukannya?'.
“ya, ya aku menemukannya.”. Jawabku yang diselingi
isakanku.
'tenanglah, Niall. Baiklah, cairan infus itu berisi
obat untuk Sherine jika ia berada dalam keadaan pingsan. Sekarang aku
butuh konsentrasimu. Aku tak bisa kesana dalam waktu cepat. Jadi ku
harap kau yang melakukannya, dan aku yakin kau bisa'.
“kau ingin aku melakukan apa? Cepatlah!”.
'pergilah untuk mencuci tanganmu sebersih mungkin,
Niall. Lalu kau lihat tiang besi disamping ranjang Sherine? Kau ambil
selang yang menggantung disana. Lalu di bawah ranjang Sherine juga
terdapat kotak obat yang berisi alkohol untuk disinfeksi dan plaster.
Kau keluarkan itu semua dihadapanmu. Ingat! Jangan terburu-buru. Kau
harus tenag, jika tidak ini bisa fatal. Karena kau bukan ahlinya'.
Ku ikuti sarannya itu. Ku letakkan iPhone Sherine diatas meja setelah
ku sentuh tombol loudspeaker.
Aku mengatur nafasku yang seperti pelari marathon kini,
mencoba tenang dan percaya pada Taylor bahwa aku bisa melakukannya.
Aku menghampiri washtaffle dapurnya, mencuci tanganku sebersih
mungkin, lalu kembali ke kamar dan menemukan selang infus serta kotak
di bawah ranjang itu.
“Taylor, aku sudah menemukan semuanya”. Ucapku tanpa
menggenggam iphone yang terletak di meja belakangku. Seraya
memastikan semua yang di katakan Taylor sudah berada di hadapanku.
'kau siapkan dan gunting plasternya lebih dulu. Jika
sudah, kau buka penutup botol infus tadi dan hubungkan pada selang,
alirkan cairan dalam selang kemudian kau gantungkan di tiang tadi.
Sudah?'. Dengan tenang ku ikuti langkah-langkahnya itu seiring
dengan penjelasannya, agar aku tak tertinggal dan memintnya untuk
mengulang. lalu ku gantungkan cairan infus itu.
“sudah”.
'sekarang, gunakan Handscoon yang ada di dalam box
itu, lalu kau ambil kapas dan bersihkan tangan Sherine yang akan di
infus degan cairan disinfeksi. Setelah itu kau ambil jarumnya. Dengar
Niall, yang ini kau tidak boleh salah, kau harus menusuknya dengan
benar'. Terbelalak mataku mendengar kalimat terakhirnya.
Menusuk? Maksudnya, aku yang menusukkan jarum ke tangan
Sherine? Apa aku bisa?, “apa?! Tapi aku tak bisa”. Ucapku
menghentikan tanganku yang tengah membersihkan tangan Sherine.
'Niall! Jika tak di tusuk bagaimana cairan obatnya
bisa terhubung ke tubuh Sherine? Cepatlah tak ada waktu lagi!'.
Aku memejamkan mataku, menenangkan pikiranku. Aku tau
ini kali pertama aku melakukannya, bahkan tak pernah terbersit dalam
hidupku bahwa aku akan melakukan hali ini. Tapi, aku tak bisa tinggal
diam menunggu Taylor datang hingga akhirnya terjadi hal yang lebih
buruk pada Sherine nantinya.
'Niall, ini aku Christie. Aku akan menjelaskannya
padamu'. Muncul suara lain dari telfon itu.
“baiklah. Aku sudah membersihkannya. Teruskan
penjelasanmu secara perlahan dan aku akan mengikutinya.”. Pintaku.
Kini aku sudah bisa setenang mungkin, siap untuk melakukannya,
memasang telinga ini lebar-lebar agar aku tak salah mendengarkan
penjelasannya.
'Niall, ini mudah. Kau tak perlu mencari letak
pembuluh darah pada tangannya, karena kau bisa melihat bekasnya.'.
Ucap Christie yang menurut padaku dengan mengatakannya secara
perlahan. Ku perhatikan lebih jelas tangannya yang telah ku bersihkan
tadi, dan benar saja. Teriris kembali aku melihatnya. Inikah bekas
tusukan jarumnya? Sudah berapa kali kau menahan sakit tusukan jarum,
Sher?
'Niall? Kau masih disana?'. Panggil Christie,
mengalihkan tatapanku dari bekas suntikan jarum di tangan Sherine
tersebut.
“.. ya. Ya, Christ. Lanjutkan”.
'jangan melamun! okay. Yang menjadi tantanganmu
adalah, tusukkan jarum itu ke tangannya. Ingat kau tusukkan tepat
pada bekas tersebut, genggam tangannya dan kau akan menemukannya
lebih jelas,..'. Jelas Christie. Jarum sudah siap di tangan
kananku, sedangkan tangan kiriku menggenggam dingin tangan kanannya,
dingin yang membuatku ingin menangis merasakannya.
'.. sekarang, lakukan penusukan pada vena tersebut
dengan..'.
“sebentar! Apa itu vena?”. Potongku karena tak
mengerti kata yang di keluarkannya itu.
' sorry, Niall. Maksudku pembuluh darahnya.'.
Jawabnya. Dan kemudian, mulailah sebuah tanatanganku ini yang tak
hanya sekedar tanatangan, namun pertolongan untuk gadis ini, gadis
yang ku cintai.
Kemudian Christie melanjutkan penjelasannya, dan aku
mengikuti setiap langkahnya, 'baiklah, sekarang, Niall. Kau
tusukkan dengan meletakkan ibu jarimu di bagian bawah vena'.
' ... Posisi abocath menga.. maksudku jarumnya
mengarah ke atas'.
' ... Perhatikan keluarnya darah melalui jarum, maka
tarik keluar bagian dalam jarum sambil meneruskan tusukkan ke dalam
vena'.
' .... Setelah jarum infus bagian dalam di lepaskan
atau di keluarkan, tahan bagian atas vena dengan menekan menggunakan
jari tanganmu, agar darah Sherine tak keluar'.
' .......... Niall? Kau mendengarkanku? Apa kau
berhasil?'.
' ...... Niall cepat katakan padaku, jangan membuatku
takut!'.
“hyaa, aku berhasil”. Ucapku, mematung menatap apa
yang sudah ku kerjakan.
'aaaaah!! sudah kuduga, pasti kau bisa melakukannya,
Niall! Cepat! Sekarang bagian infus itu kau hubungkan dengan selang
infus yang sudah kau siapkan tadi, sudah?'.
“ya, Christ, sedang kulakukan”. Ku hubungkan selang
infus itu ke infus yang masuk ke tangan Sherine tadi.
'Niall, aku akan memaksa rumah sakit ini untuk
memberikan penghargaan padamu jika kau berhasil melakukannya'.
“sudah, Christ. Lalu apa selanjutnya?”.
'maaf, Niall. Aku terlalu antusias. Buka pengatur
tetesannya, kau bisa lihat? Jangan terlalu cepat dan jangan terlalu
lamban tetesan itu keluar, mengerti?'. Aku mengikutinya,
memperhatikan setiap tetes yang turun dari botol infus itu seperti
yang dikatakan Christie tadi.
“ya, sudah. Lalu apa lagi?”. Tanyaku lagi,
mengangkat iPhone Sherine kembali ke telingaku.
'kau sudah menyelamatkan Sherine, Niall'. Seru
Christie, membuatku bernafas lega. Aku bisa melakukannya? Yang benar
saja.
'Niall kami sudah di jalan, sebentar lagi kami
sampai. Pastikan ia hangat dengan selimutnya. Jangan tinggalkan ia
sampai kami sampai, bye'.
“bye, Christ”. Akhirku setelah selesai
menyelimutinya. Tentu saja aku tak akan meninggalkannya, tak akan
pernah lagi.
Ku sentuh layar merah pada iPhone itu, lalu terjatuh
duduk di samping meja menyandar dinding. Mengatur nafas ini agar
normal kembali. Entah aku harus bahagia karena berhasil melakukannya,
atau menangis karena kondisinya yang tak tahu setelah ini bisa sembuh
dari kanker itu atau tidak.
Aku melihat sebuah bingkai di lantai yang kacanya retak,
ku ambil bingkai itu. Aku ingat foto didalamnya, namun foto itu
terhalang oleh tetesan darah. Apa Sherine sedang memandangi foto ini
sebelum darahnya itu keluar dari dalam hidungnya? Apa ia merindukan
saat-saat seperti yang terdapat dalam foto ini? Atau ia merindukanku?
Apa ia mencintaiku? Tidak, apa ia masih mencintaiku?
Lalu teringat kembali perkataan Taylor tentang Diary
itu. Apa pria itu juga benar soal diary yang di katakannya? Aku
bangkit dan mencari diary itu, dan tepat saat aku berdiri, aku
langsung menemukan sebuah buku kecil bersampul bludru berwarna hijau dengan gambar
seekor burung hantu di depannya.
Inikah diary itu?
_Niall pov End_
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 19 ;)




0 comments:
Post a Comment