Title:
#NLS “Princess
Nose And True Love” {Part 12}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Niall pov_
Tapi, bukankah didalam surat itu aku berjanji untuk
mengatakan langsung padanya? Ya, aku akan menepati janji itu,
walaupun ia tak membaca isi surat itu, aku yang akan membacakan surat
itu untuknya.
Belum sempat mengatur kata demi kata agar menjadi sebuah
kalimat pembuka, memutar otak mengingat apa yang kutulis dalam
suratku untuknya waktu itu, sekilat cahaya mengganggu mataku. Aku
mencari asal kilatan itu yang ternyata berasal dari hadapanku, di
tangan Sherine.
Tepat melingkar di jari manis kirinya. Sebuah cincin
perak berlian?
“kau, cincin?”. Sambarku begitu saja setelah melihat
benda yang berhasil mencuri pandanganku dari Sherine, berhasil
membuyarkan fikiranku akan surat dan janji yang kubuat untuk Sherine.
Aku tau Sherine jarang, bahkan tak pernah memakai cincin di jarinya.
Hingga muncullah sesuatu yang kutakutkan selama ini dalam fikiranku.
Sesuatu yang kuharap tak akan pernah terjadi. Namun....
“astaga, Niall. Aku hampir lupa. Maaf, aku tak
mengabarimu tentang ini. Habis, kau menghilang tanpa pamit denganku,
jadi aku tak mengundangmu waktu itu ke pesta pertunanganku”. Apa?
Tadi dia bilang apa?
“apa? Pertunanganmu?”.
“ya, kenapa?”.
Apa? Hari apa ini? Apa sekarang tanggal satu April? Apa
setelah ini ia akan meneriakiku dengan mengatakan 'April Fools!'
begitu?
“dengan, Taylor?”. Tanyaku hati-hati. Lalu Sherine
menjawabnya dengan cepat dan tanpa ragu.
“tentu saja, bodoh! Memang siapa lagi kekasihku saat
ini?”.
Kekasih? Ia bertunangan dengan kekasihnya? Taylor
Lautner? Kenapa? Kenapa ia melakukan ini padaku? Apa salahku? Kenapa
ia begitu mudah meyakitiku? begitu mudah membuatku hancur, begitu
mudah membuatku lemah dalam sesaat. Aku merasakan sesuatu yang
tertancap tepat dijantungku. Sakit! Aku tak bisa menggambarkan
bagaimana perasaanku saat ini, yang aku tahu, aku hancur, aku rapuh,
aku.. aku tak akan pernah mau mencintaimu lagi Sherine. Cukup sampai
denganmu, cukup aku mencintai seseorang yang justru menyakitiku.
Seharusnya aku mendengarkan Zayn. Ia telah mempermainkanku!
“eh, ku dengar di infoteiment kemarin. Kau tak bersama
Demi? Benarkah?”. Aku tau, sekarang pasti ia sedang merasa bahwa ia
adalah pemenang atas apa yang ia sarankan, merasa bahwa ia yang lebih
dulu menemukan cinta sejatinya. Baiklah, kau menang Sher! Kau puas?
“Niall? Kau tidak apa-apa? Tadi, kau bilang kau
menulis surat untukku, surat apa? Kau ini, seperti anak kecil saja,
masih pakai surat-suratan. Kau kan bisa menelfonku dan bicara
langsung padaku”. Lanjutnya. Ya, aku memang anak kecil yang dengan
mudahnya kau buat menangis.
“aku hanya pamit padamu untuk tinggal di flat dan akan
sibuk dengan persiapan tourku, karena waktu itu kau tak dirumah dan
handphonemu tak aktif, jadi aku menulis surat”. Jawabku seolah
menyindirnya bahwa itu murni bukan kebodohanku saja tapi karena
kesalahannya juga. Kenapa waktu itu ia tiba-tiba menghilang, bilang
saja kau tengah sibuk mempersiapkan pestamu itu, Sher!.
“oh, Niall. Aku menyesal.”.
“aku harus pergi”. Tak perduli apa yang ia sesali,
aku beranjak dari sofa berduri itu, meninggalkan Mocachino beracun
yang baru dua kali ku teguk.
“tapi kau kan baru sampai”. Ucapnya menyusulku yang
sudah membuka pintu kayu berwarna hitam itu.
“aku mau kerumah Harry, mengambil mobilku yang
kutinggalkan dirumahnya, lagi”. Akhirku bohong, sambil menuruni
tiga anak tangga tanpa menoleh kewajahnya lagi.
“baiklah, bye”. Teriaknya sebelum aku membanting
pintu rumahku. Masa bodoh ia mendengarnya atau tidak.
Aku mengurung diriku kini dikamar, ingin rasanya aku
menghancurkan seluruh isi kamarku ini, sama seperti ia menghancurkan
hati ini dengan mudahnya. Tak sadarkah ia, betapa menyakitkannya aku
menerima kabar itu dari mulutnya sendiri. Tak sadarkah ia, betapa aku
mencintainya melebihi apapun.
Apa yang ia punya? Sehingga aku tak bisa menjauh
darinya, sehingga membuatku sulit untuk melupakannya, apa? Bahkan
cinta pun ia tak punya untukku. Lalu kenapa, Niall! Kenapa kau masih
terus berharap padanya? Bukankah ada Demi yang mencintaimu? Itu lebih
baik dari pada kau mencinta seseorang yang tak mencintaimu, bukan?
Dengan adanya Taylor Lautner, bukankah jelas bahwa
Sherine sudah tak mencintaimu lagi, Niall? Jadi untuk apa kau menulis
surat itu? Toh Sherine akan tetap memilih Taylor ketimbang dirimu
sendiri, Bodoh!
Aku sadar, mungkin memang bukan Sherinelah cinta
sejatiku, bukan Sherinelah yang harus ku cintai. Harusnya aku tetap
menyendiri seperti saat sebelum aku mengenal Sherine, harusnya aku
tetap menunggu seseorang yang benar-benar mencintaiku. Aku terlalu
cepat mengambil langkah saat itu, aku begitu termakan oleh bujukan
teman-temanku untuk mengakhiri kesendirianku. Aku salah, ya. Dan kau
benar, Sher. Mungkin seharusnya aku hanya sekedar menyukaimu.
Aku mengambil ponselku. Menghubungi seseorang yang pasti
bisa menolongku dalam mengatasi amarahku ini.
“hallo, Zayn? Apa dirumahmu masih banyak makanan?”.
_Niall pov End_
~NLS~
_Sherine pov_
“baiklah, bye”. Teriakku sebelum ia membanting pintu
rumahnya.
Ku kunci pintu itu buru-buru, berlari kekamar menahan
tangis. Melempar rambut keriting ini kesembarang tempat, melepas
hearing aid yang kukenakan ditelingaku, melemparnya yang juga entah
kemana, dan mematahkan kacamataku lalu menginjaknya dengan penuh
amarah.
Akhirnya, menangis sejadi-jadinya sekarang, tak perduli
dengan janji yang kubuat tepat satu tahun yang lalu itu. Ingin
berteriak sampai teriakan ini masuk ke dalam telingaku, namun tetap
saja tak bisa. aku bahkan tak bisa mendengar suara tangisanku sendiri
tanpa alat yang kulempar tadi. Tangisan dari penyesalan atas
kebodohan yang kubuat sendiri.
Aku jatuh lemas di lantai, duduk bersandar di bibir
ranjang, memeluk kedua dengkulku, mencengkram hebat celana jinsku,
berusaha terus mengeluarkan air mata ini sampai habis, sampai tiris,
sampai tak ada setetes pun yang keluar lagi, hingga aku tak perlu
melanggar janjiku untuk tidak menangis lagi.
Aku membuka laci disampingku, meraih sesuatu didalam
laci itu. Membuka halaman akhir Diary ini, dan menangis lagi melihat
apa yang tergeletak tenang didalam sana.
Lagi-lagi. Lagi-lagi aku membohongimu Niall, aku
membohongimu! Aku memang tak pantas untuk kau ampuni. Dan aku tak
pantas untuk kau cintai!
|Flash back On| (Two days ago)
'Diary Princess Nose
'5 February . 08:38 pm.
Tiga bulan yang melelahkan, tiga bulan aku tak
menggoreskan tinta hijau ku di atas kertas putih dalam diary ini,
tiga bulan pula aku merindukanmu wahai sahabatku, .... Niall, apa
kabarmu? Ku dengar kau semakin sibuk akhir-akhir ini bersama One
Direction..'
Ku hentikan goresan tinta ini sesaat, teringat sesuatu
yang kusimpan di halaman terakhir Diary ini. Sebuah surat, dari
Niall.
Aku membuka lembar halaman belakang Diary ini. Kudapati
sepucuk surat masih tersimpan rapih sejak beberapa bulan yang lalu,
saat aku menemukan benda ini untuk pertama kalinya menggeletak dengan
tenang di bawah pintu rumahku. Aku belum membukanya, tepatnya aku
belum membaca isi surat itu satu katapun.
Ku buka surat itu akhirnya, dan membacanya...
'Sudah satu jam aku dihadapan kertas ini namun tak
ku goreskan apapun diatasnya. Aku bingung harus memulainya dari mana,
sama seperti saat aku bingung harus memulai dari mana untuk
mengungkapkan persaanku padamu dua tahun silam..'. Aku
berhenti membacanya. Ya, dan sekarang sudah tiga tahun jika kita
masih bersama, Niall.
Aku melanjutkan lagi..
'..., sampai teman-temanku ikut andil untuk
mengatakannya padamu. Haha, aku tau aku tak gentleman saat itu,
sorry.
Ya, maaf. Aku minta maaf padamu sebelumnya, Sher.
Tujuanku menulis surat ini. Pertama, karena aku tak melihatmu
belakangan ini sehingga aku tak dapat mengatakan semua ini langsung
padamu. Dan kedua, Sebanarnya aku tak benar-benar bersama Demi, Sher.
Maksudku aku tak benar-benar mengatakan bahwa aku mencintainya
seperti apa yang kukatakan di hadapanmu waktu itu...'. Aku
mengingat kejadian itu, dirumahnya.
Dimana sebelumnya aku membohongi Niall bahwa aku dan
Taylor, date. Keputusan yang kubuat sendiri tanpa sepengetahuan
Taylor sendiri. Keputusan yang kubuat agar memastikannya bahwa aku
benar-benar tak mencintainya lagi.
Dan kata-kata itu, yang ditujukannya untuk Demi. Apa?
Tak benar-benar mengatakannya? Kata-kata yang mampu membuatku membeku
sesaat, dan sekuat tenaga aku berusaha agar tak melanggar janjiku
untuk menangis lagi, itu tak benar-benar dikatakannya untuk gadis
itu? Jadi? Sebenarnya, mereka tak ada hubungan apapun?
'..., Aku, aku hanya ingin melihat sikapmu setelah
aku mengeluarkan kata-kata itu, tapi sikap itu tak menunjukkan apa
yang ku harapkan. Kau terlihat biasa-biasa saja mendengarnya, tidak
menatap tajam mataku lalu pergi menahan tangisanmu yang hampir pecah
saat itu juga. Ya, aku mengharapkan itu, Sher. Karena aku, karena aku
masih mencintaimu...'. Aku
menutup mulut ini dengan tanganku karena terkejut akan tulisan itu.
Gemetar jari-jemariku kini. Mataku memanas, siap mengeluarkan air
mata ini. Semakin panas karena aku berusah agar air mata ini tetap
berada didalam.
'..., Maaf, lagi-lagi aku tak mengatakannya
langsung padamu. Tapi aku ingin, suatu saat aku mengatakannya
dihadapanmu, aku ingin kau mendengar langsung dari mulutku, bahwa aku
benar-benar mencintaimu...'. Tak
bisa, aku tak bisa menahan air mata ini yang sudah menggenang, siap
untuk terjun hingga membasahi suratnya.
'..., Tak seperti apa yang kau katakan waktu itu.
Saat kau memutuskan untuk membuat kesepakatan konyol itu. Aku sama
sekali tak menyukaimu, Sher. Tapi aku mencintaimu. Entah kenapa aku
bodoh sekali melepaskanmu begitu saja saat itu. Seperti layangan yang
terputus tapi aku tak berusaha sekecilpun untuk mengejarnya dan
mendapatkannya kembali, dan berjanji agar tak membiarkan layangan itu
terputus dari talinya lagi.
Tapi aku terlambat. Saat aku baru menyadari betapa
berartinya layangan itu dihidupku, aku mencoba untuk mencari layangan
itu kembali. Namun ternyata, layangan itu sudah terbang jauh, sangat
jauh, Sher. Hingga aku tak bisa mencapainya kembali. Tak bisa, karena
kau telah menemukan Taylor...'. Tidak,
Niall. Bukan Taylor, bukan!
'..., Sher, aku lega tengah mengatakan semua ini
padamu. Aku hanya ingin kau tau, bahwa aku sudah mencintaimu sejak
dua tahun yang lalu dan masih mencintaimu hingga kini. Kaulah cinta
sejatiku, Sherine Arifa.
Ahh, by the way, kemana kau selama ini? Kenapa kau
tak mengabariku tentang kepergianmu yang entah kemana secara mendadak
ini. Karena ini pula aku jadi tak bisa pamit padamu langsung. Mulai
besok aku akan tinggal di flat management bersama yang lain, kami
akan mulai mempersiapkan tour album kami. Doakan kami, Sher. See ya.'
Aku tertunduk lemas, aku tak percaya apa yang terjadi
padanya selama ini, bahwa sebenarnya Niall dan gadis itu tak memiliki
hubungan seperti apa yang ku fikirkan selama ini. Aku memejamkan
mataku, merasakan beningnya air mata yang jatuh, namun dengan cepat
ku hapus air mata ini, aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa
aku tak akan menangis lagi.
Aku kembali membuka halaman diaryku yang tulisannya
belum kuselesaikan. Seraya menahan tangisan ini dengan mengatup rapat
bibirku, susah payah ku mengatur gemetarnya tangan kanan ini karena
isakan yang ingin tumpah sekarang juga, menuliskan apa yang ada
didalam hati dan fikiranku..
Niall. Aku sudah membaca surat darimu, semua, juga
tentang hubunganmu dengan Demi yang ternyata hanyalah kedustaanmu
untuk melihatku cemburu. Ya Niall, aku cemburu padanya, sangat amat
cemburu, bahkan sakit yang kurasakan saat itu didalam hatiku kutahan
sedemikian rupa agar kau tak menyadarinya.
Tapi, aku menyesali hal itu, Niall. Bukan karena
kecewa, tapi kenapa kau tak benar-benar berhubungan dengan dia.
Maksudku dengan, Demi. Jadi sebenarnya kau belum menemukan cinta
sejatimu? Kenapa? Kenapa aku baru tau sekarang? Disaat semuanya sudah
benar-benar terlambat...
Tak ku sangka efek dari 'ritual' itu akan seperti
ini, harusnya aku tetap menolaknya, harusnya aku tak perlu melakukan
kemo atau radioterapi itu, ini salahku sendiri, aku tau efeknya akan
seperti apa, tapi aku tetap meminta Taylor untuk melakukannya. Hingga
pada akhirnya efek itu membuatku semakin tak nyaman, membuatku
berusaha keras menutupinya lagi. Efek itu lebih parah dari yang ku
bayangkan sebelum memutuskan untuk melakukannya.
Gangguan pada telinga juga mataku, sebelum aku
mengetahui penyakit ini aku sudah merasakannya, tapi tak separah
sekarang, hingga aku harus menggunakan alat bantu dengar dan kacamata
itu. Belum lagi helai rambutku yang semakin menipis...
Tay bilang hanya sedikit sekali kemajuan, lalu untuk
apa aku melakukannya selama tiga bulan penuh ini? Tapi.. aku tak
boleh menyalahkannya, ia sudah mencoba menolongku sebisanya. Aku tau
ia sudah berusaha keras untukku. Aku sendirilah yang harusnya
disalahkan, aku terus mengikuti apa yang Taylor minta untuk
kesembuhanku, tapi aku tak pernah mau untuk berusaha sembuh, tak ada
kemauan dari dalam diriku ini, hingga membuat semua ini percuma.
Percuma.
Tapi aku sadar bahwa memang tak ada harapan lagi
untuk melawan kanker ini. Semua penderita kanker yang aku tau
berakhir pula dengan kematian. Jangankan yang terkena kanker, yang
tidak pun bukankah mereka semua akan kembali pada-Nya? Hanya saja
waktu dan takdir kematiannya yang membuat itu berbeda.
Aku harus menjalani sisa umurku ini dengan membagikan
kebahagiaan, aku akan berusaha kembali melupakan penyakitku ini,
mejadi Sherine yang tak pernah memikirkan apa yang ia derita,
berusaha keras untuk mebuat bahagia orang disekitarku. Termasuk kau
Niall... secepatnya aku harus membantumu mencari cinta sejatimu...'
“Sherine! Lihatlah pilihanku ini”. Christie
mengejutkanku. Tepat saat aku menyelesaikan paragraf terakhir dalam
diary ini. Dengan cepat ku hapus tetes air mata dipipiku, lalu ku
lipat surat yang masih tergeletak disamping buku kecil ini dan
meletakkannya kembali ke tempat semula.
Ia masuk kedalam kamarku, menghampiriku duduk diatas
ranjang, membawa serta beberapa tas belanjanya. Ia nampak mencari
sesuatu didalam tas-tas tersebut, dan akhirnya keluarlah sebuah kotak
berukuran sedang yang kemudian diserahkannya padaku, memintaku untuk
membukanya sendiri. Kubuka kotak itu dan kukeluarkan isinya, aku
tersenyum lebar padanya.
“Curly?”. Tanyaku tak percaya, melihat sebuah wig di
tanganku yang mengingatkanku pada rambut Daniele kekasih Liam. Hanya
saja yang ditanganku ini tak terlalu lebat dan berwarna hitam,
sehitam rambutku dulu sebelum 'ritual' itu membunuhnya sampai habis.
“yup! Lucu tidaak? Maaf, wig yang kau minta tak ada
yang berwarna hitam, jadi kupilih yang keriting saja”. Christie
mengusap-usap tanganku meminta maaf.
“hahaha, tak apa Chris. Aku suka sekali”.
“ini akan membuat penampilanmu berbeda, cobalah!”.
Ucap Christie antusias. Aku membuka wig lamaku, merasakan dinginnya
kulit kepala ini yang sudah tak dilindungi dengan rambut-rambut
kesayanganku dulu, hingga kini di alih tugaskan oleh rambut palsu
ditanganku.
“biar kubantu”. Christie memakaikan rambut palsu itu
dengan lembut, memastikan agar nyaman dikenakan padaku, memastikan
bagian tepinya lembut agar tidak menggesek kulitku hingga akhirnya
terjadi iritasi yang disebabkan efek 'ritual' itu.
“Sher, kau cantik”. Ucapnya terpana, saat aku tengah
mengatur rambut ini.
Christie nampak mencari sesuatu, sampai keluar kamarku.
Aku tau ia mencari cermin, agar aku bisa melihat pantulan wajahku
menggunakan rambut palsu ini. Tapi semua cermin yang ada dirumahku
sudah ku simpan diatas loteng sore tadi, sepulangku dari rumah sakit.
Aku takut, aku takut melihat wajahku yang tak terhias mahkota indah
itu lagi.
Christie kembali kekamarku tanpa bertanya padaku
keberadaaan benda yang ia cari itu. Mungkin ia mengerti. Kemudian ia
mengeluarkan handphonenya, mengarahkan bulatan hitam di belakang
benda itu ke arahku, hingga muncullah cahaya blitz yang berasal dari
Handphonenya.
“lihatlah”. Christie menyerahkan Handphonenya. Aku
tertawa kecil melihat wajah baruku di dalam sana. Black curly hair,
kacamata ber-frame Hijau, dan wajah pucat pasi yang tertutup make up
natural.
“tak usah memakai wig itu juga tetap cantik”. Suara
lain mengalihkan kami dari layar tersebut.
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 13 ;)



0 comments:
Post a Comment