Title:
#NLS “Princess
Nose And True Love” {Part 24}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome
to my Imagination|
Hope you
like this guys ;)
~NLS~
_Sherine pov_
“so, will you marry me?”. Tanyanya lagi. Aku masih
diam tak menjawab, aku bingung, aku benar-benar bingung apa aku harus
membalas cintanya?
“jawab, Sher”. Pintanya, semakin menggenggam erat
tanganku. Aku menelan ludah, dan begitu saja air mata ini menetes
lebih banyak.
“Sherine, aku mohon jangan menangis, aku sudah
berjanji pada diriku sendiri tak akan membuatmu menagis”. Secepat
kilat Niall menangkap tubuhku dan memelukku erat, aku membalas
pelukannya. Kami menangis bersama, bahkan kami saling meninggikan
suara tangisan kami. Ingin sekali ku hentikan tangisan ini karena
semua anak-anak yang tadi sibuk bermain kini memperhatikan kami yang
menangis seperti anak kecil. Aku terus mencoba menahannya dengan
memeras kerah Niall, tapi tetap tak bisa, Niall yang membuatku tak
bisa menghentikannya, punggungnya yang ku rengkuh ini terus bergetar.
“ini alasanku menutupinya darimu, bodoh! Aku juga tak
ingin melihatmu menangis layaknya bayi seperti ini”. Ucapku
memukul-mukul punggungnya. Ia melepaskan pelukannya, lalu
membersihkan air matanya.
“tapi kenapa kau harus memutuskan untuk mengakhiri
hubungan? Kau fikir aku suka dengan keputusanmu itu? Hah”. Protes
Niall, menatapku tak suka.
“lalu kenapa kau tak menolaknya? Kenapa kau malah diam
dan pergi, seolah kau benar-benar hanya menyukaiku?”. Balasku.
“itu yang ku sesalkan”. Niall kembali menundukkan
kepalanya, “aku terlalu bodoh untuk mempercayaimu, dan aku begitu
bodoh untuk bisa merasakan perasaanku sendiri yang sebenarnya,
maafkan aku”. Niall menangis kembali, wajanya ia tutup rapat dengan
tangannya lalu meletakkan kepalanya di atas dengkulku.
“No! Berhenti mengatakan hal itu, aku yang memulainya,
Niall. Aku yang salah, maafkan aku”. Aku mengangkat kepalanya,
matanya memerah, hidungnya pun juga. Aku juga melihat tanganku kini,
jemariku memerah, aku baru sadar tubuhku memerah sekarang.
“Sherine? Tanganmu?”. Niall juga baru menyadari hal
itu, ia juga memperhatikan wajahku, entah apa yang dilihatnya tapi
sepertinya aku mengerti, wajahku merah pasti bukan karna menangis,
tapi ini karana aku melupakan sesuatu.
“aku lupa, menggunakan sunblockku”. Ucapku lemas,
lemas bukan karena kebodohanku, tapi tubuhku yang tiba-tiba terasa
tak bertenaga.
Niall langsung mengangkatku, ia menggendongku, dan
membawaku entah kemana. Aku menyembunyikan wajahku di dadanya, agar
matahari yang menyengat tepat diatasku itu tidak membuat wajahku
semakin memerah lagi.
_Sherine pov End_
~NLS~
_Niall pov_
Rasa pegal tak kurasakan sama sekali, bukan karena
kutahan, tapi memeng tubuhnya yang bisa di bilang lebih ringan dari
tumpukan ransel tourku, Zayn, Liam, Harry, dan Louis jika
digabungkan. Baru sampai di muka halaman rumah sakit, Taylor sudah
membuka pintu dan sudah siap bersama ranjang troli untuk membawa
Sherine ke ruangannya.
Aku sudah menelfon pria itu tadi dijalan, ia sudah puas
memarahiku di telfon tadi, dan sekarang ia memintaku agar tidak ikut
masuk keruangan Sherine. Aku memungut sesuatu tepat di depan pintu
ruangannya, cincin yang kubuat dari tangkai bunga tadi terlepas dari
jarinya, kusimpan di sakuku baik-baik.
Aku duduk disalah satu bangku disamping pintunya,
memijat kepalaku, dan memaki diriku sendiri di dalam hati. Sherine
sudah terpejam saat dimobilku tadi, namun seluruh tubuhnya masih
memerah seperti terkena iritasi. Bahkan menggendongnya saja aku
pastikan di tubuhku tak ada yang menggesek pada kulitnya, agar ia tak
memar atau bahkan berdarah.
Sudah tiga jam Sherine di rawat, ia sudah sadar sejak
dua jam yang lalu, tapi Taylor masih melarangku dan siapapun untuk
menemuinya. Aku hanya melihat kondisinya lewat kaca pintu, saling
memberikan seutas senyuman, mungkin bisa membantu membangkitkan
semangatnya bahwa ia pasti akan baik baik saja.
Andai ini bukan larangan yang demi kesehatannya, sudah
ku dobrak pintu ini lalu memeluknya dan mencium keningnya,
menggenggam tangannya, memberikan kekuatan yang berasal dari hati
ini.
“hey, Niall. Kau
sudah bisa menemuinya, jangan dengarkan Taylor, dia berlebihan.
Masuklah, aku sudah selesai”. Ucap Christie yang keluar dari
ruangan Sherine.
Ku buka pintunya
yang sedikit berdecit itu, membuatnya berpaling menatap pintu ini
yang memunculkan sosokku. Ia terseyum menyambutku, begitu tenang
kulihat senyumnya yang sedekat ini. Wajah dan tangannya masih
memerah, namun tak semerah tadi saat aku membawanya kesini,
“bagaimana keadaanmu?”. Tanyaku yang bukan sama sekali basa-basi.
Ia bangkit dan
bersandar, “kau tau? Jika selang infus ini tak menempel ditanganku,
aku sudah melompat-lompat diatas ranjang ini”. Guraunya, mungkin
untuk membuatku tak terlalrut dalam kecemasan melihat kondisinya saat
ini. Maka dari itu aku memberikannya dengus tawa agar ia juga tak
larut dalam kekhwatirannya sendiri.
“Sher, i'm
sorry. Karena aku kau seperti ini”. Ucapku seraya menundukkan
kepalaku karena begitu menyesalnya aku tak menjaganya dengan baik.
“tidak, ini
salahku sendiri, Niall. Aku lupa menggunakan sunblockku, jadi kulitku
terbakar seperti ini”. Jelasnya, tapi tetap saja aku merasa bahwa
aku yang salah. Padahal di taman tadi, tak sedetikpun aku melepaskan
pandanganku darinya, mengawasinya, takut terjadi sesuatu yang buruk
padanya. Tapi ia malah terjatuh dihadapanku dan atas kesalahanku
karena membawanynya dibawah teriknya matahari.
“aku tidak
apa-apa, Niall. Ini bukan yang pertama kalinya. Aku mohon jangan kau
fikirkan”. Lanjutnya yang menyadari aku tertegun sendiri. Mungkin
ini alasannya ia tak mau memberitahuku tentang kanker itu, ia tak mau
aku terus menyalahkan diriku sendiri atas kondisinya saat terjadi
sesuatu yang buruk padanya.
Aku mengangguk
padanya, kemudian meraih tangan kanannya. Aku ingin meneruskan apa
yang tertunda tadi di taman. Ya, aku ingin melamarnya, aku ingin
mendengar ia menjawabnya, menerima, bukan menolaknya.
Aku ingin ia
menjadi pendamping hidupku agar aku bisa lebih sering untuk
merawatnya, namun bukan itu alasan utama aku ingin menikahinya. Aku
sudah benar-benar yakin akan hati ini, bahwa Sherine lah cinta
sejatiku yang sebenarnya, maka dari itu aku tak ingin membiarkannya
lepas dari tanganku lagi, aku ingin mengikatnya dengan ikatan yang
sah. Aku ingin menikahinya.
“Sherine, will
you marry me?”. Lagi-lagi Sherine memberikan tatapan yang sama
dengan yang di taman, ia membisu, ia terlihat berfikir sendiri. Aku
tau mungkin pertanyaanku salah, harusnya aku lebih dulu menanyakan
padanya, apa ia masih mencintaiku?
Aku tau ia masih
memikirkan penyakitnya, pasti ia mengkhawatirkanku, pasti ia berfikir
seperti apa yang ditulisnya didalam buku diary itu. Ia tak ingin aku
repot mengurusinya sepanjang hari, menghabiskan waktuku bukan untuk
bersenang-senang tapi sibuk mengurusnya yang katanya sudah tak
menjamin kebahagiaanku. Kau tau Sher, kebahagiaanku adalah bersamamu.
'knock..knock..'.
Suara itu berasal
dari pintu ruangan Sherine, ketukan itu menyelamatkan Sherine mungkin
yang gugup harus menjawab pertanyaanku yang begitu pentingnya tadi.
Pintu itu terbuka setelah ketukan terakhir, “aku
mengganggu kalian?”. Amat sangat mengganggu, Zayn Javadd Malik.
“tidak, Zayn. Masuklah”. Jawab Sherine. Pria itu
masuk, ia sendiri bersama totebag di tangannya yang tak ku tahu
isinya.
Zayn meletakkan totebag tersebut diatas meja dekat
ranjang Sherine, “apa itu?”. Tanyaku. Namun Zayn tak
mengubrisnya, membuatku semakin jengkel padanya.
“Sherine, sebelumnya.. aku minta maaf padamu atas
sikapku belakangan ini padamu, aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan
dan bahkan menghasut Niall untuuk...”.
“sudahlah, Zayn. Lupakan, aku tak memikirkan hal itu,
aku mengerti posisimu dan aku sama sekali tak marah padamu, jadi apa
yang harus ku maafkan?”. Potong Sherine membuatnya bernafas lega.
Kemudian ia mengambil totebag disampingnya itu.
“ini untukku?”. Tanyanya yang mengeluarkan sebuah
kotak panjang yang entah apa lagi isinya aku juga tak tau.
“ya, itu Propolis. Sebagai permintaan maafku dan
semacam info yang kudapat untuk membantumu”. Jawab Zayn.
“obat herbal?”. Seru Sherine.
“ya, dan itu sangat membantumu, karena dapat membantu
detoxifikasi jaringan darah dan menstimulasi system kekebalan tubuh
untuk bersama-sama memberantas sel kanker yang ada pada tubuhmu”.
Jelasnya, mungkin rasa jengkelku seikit berkurang. Ia begitu merasa
bersalah atas tuduhannya. Saat ia mematung kemarin, aku bisa mencerna
sekarang bahwa ia merasa bersalah atas perlakuannya terhadap Sherine.
“Thank you, Zayn. Harusnya kau tak perlu melakukan
ini”.
“bagaimana bisa aku tau satu hal yang dapat membantu
penyembuhanmu, tapi aku hanya diam saja?.. umm.. Niall, aku ingin
bicara sebentar denganmu”. Dengan senang hati, Zayn. Diluar nanti,
akan ku pukul kau habis-habisan. Beraninya kau memotong saat-saat
terpenting dalam hidupku.
“aku keluar sebentar”. Pamitku pada Sherine.
Aku sudah menutup kembali pintu disampingku, “apa?”.
Sambarku tak sabar.
“antar aku keruangan pria itu”. Pinta Zayn, aku
sedikit tak mengerti siapa yang Zayn maksud dengan 'pria itu'.
“Taylor Lautner”.
~NLS~
Aku sudah duduk dihadapan meja dokter itu, “aku tau
satu rumah sakit yang bisa mengatasi Kanker Nasofaring. Pamanku juga
pernah mengidap penyakit itu ternyata, dan ia berobat di Fuda Cancer
Hospital Guangzhou”. Jelas Zayn yang duduk disampingku.
“China! Bodoh! Kenapa aku sampai lupa tentang rumah
sakit itu”. Taylor menggembrak mejanya sendiri sebelum bangkit dari
bangkunya, membuatku dan Zayn hampir terkejut.
“Thank You, dudes. Kalian tau? Rumah sakit itu sudah
menyembuhkan lebih dari ratusan pasien yang terkena Kanker
Nasofaring”. Seolah mendapatkan jutaan peti harta karun, aku begitu
bahagia mendengar singkat biograpy rumah sakit tersebut dari mulut
Taylor. Tapi, itu di China? Jika Sherine kesana, aku sudah pasti tak
bisa ikut dengannya, mengingat dua minggu lagi akan ada Tour album
terbaru kami.
“berapa lama jika Sherine berobat disana?”. Tanyaku,
yang berharap itu tak akan lama, aku tak bisa lagi menjauh dari gadis
itu. Sudah cukup gadis itu pergi jauh dariku, jangan biarkan ia lepas
lagi dari tanganku.
“tergantung, Niall. Seberapa parahnya kanker yang
menjalar ditubuhnya. Pamanku hampir satu tahun disana dan saat ia
kembali, ia masih melanjutkan pengobatannya sampai dinyatakan
benar-benar hilang sel mematikan itu”. Jelas Zayn, yang sudah
seperti seorang dokter. Sepertinya si pakistan itu benar-benar
menebus dosanya pada Sherine, ia mencari tau segalanya tentang kanker
itu.
“ya, benar. Kita
harus memastikannya sedetail mungkin bahwa tak ada sedikitpun sel
kanker yang tersisa”. Sambung Taylor.
“jadi, kapan kau
akan membawa Sherine kesana?”. Tanyaku.
“secepatnya,
tapi yang jadi kendala adalah, apakah Sherine mau kesana?”. Ucap
Taylor yang kembali duduk di hadapanku.
“memangnya
kenapa? Bukankah ia mau sembuh?”. Tanya Zayn bingung. Aku mengerti
maksud Taylor, ini pasti ada hubungannya dengan kakak Sherine yang
kecelakaan.
“ini tentang
kakaknya. Kakak Sherine kecelakaan dan sekarang koma, ia ingin pulang
ke Indonesia secepatnya”. Jawabku.
“tidak, Niall.
Tidak hanya itu”. Potong Taylor. Membuatku sama bingungnya dengan
Zayn.
“belakangan ini,
Sherine kembali pasrah akan penyakitnya. Ia juga sudah memutuskan
untuk berhenti melakukan kemoterapi dan radioterapi karena efeknya
yang mengganggunya, juga tabungannya yang sudah menipis”. Jelas
Taylor.
“kalo soal efek
dari terapi itu, kan Niall bisa membujuk juga mendukungnya. Dan kita
bisa membantunya membiayai semua pengobatan itu”. Sahut Zayn, aku
sudah memikirkan hal itu jauh sebelum ia mengeluarkan kalimat itu,
tapi tidak dengan kata 'kita'.
“tidak, Zayn.
Cukup aku saja yang membiayainya”. Ucapku.
“tidaak, yang
membuatku khawatir adalah, Sherine tipikal orang yang tak mudah
diberikan bantuan, seperti saat aku menawarinya pekerjaan di sebuah
stasiun televisi milik pamanku. Ia bersikeras tak mau masuk jika aku
memaksa pamanku untuk menerimanya, ia ingin berusaha sendiri. Dan
saat ia tahu aku memberitahu pamanku bahwa ia temanku, ia marah besar
padaku dan hampir menolak untuk bekerja di tempat itu. Tapi pamanku
cepat mencegahnya, ia bilang bahwa Sherine di terima karena memang
bakatnya yang bagus dan ia pekerja keras”. Ungkap Taylor.
Sekarang otakku
mulai mencari jalan keluar, Sherine harus sembuh. Walaupun ia tak
bisa bersamaku selama itu, tapi aku akan menunggunya disini, aku
yakin ia pasti mau dengan cara ini. Demi aku, Sher. Kau harus mau dan
sembuh, “aku ada ide”.
~NLS~
Taylor sepakat
denganku, ia akan membawa Sherine ke China setelah kondisinya
membaik, dan itu tanpa memberitahu Sherine sendiri, dengan alasan
pria itu akan mengantarnya sampai ke Indonesia. Ya, tapi apa itu sama
dengan membohinginya?
Sebenarnya aku tak
ingin melakukan hal itu, tapi ini demi kesembuhannya. Dengan begini,
Sherine bisa sampai ke China tanpa harus bersi tegang untuk
menolaknya, menolak aku yang membiayai pengobatannya.
Mungkin sampai
disana Taylor akan bilang tujuan mereka yang sebenarnya ke negeri
sakura itu kepada Sherine adalah untuk pengobatannya. Tapi tentang
biaya itu, aku tetap meminta Taylor untuk menyembunyikan hal itu
darinya, aku tak ingin ia merasa berhutang padaku.
_Niall pov End_
~NLS~
_Sherine pov_
Sejak hari itu, saat ia mencoba melamarku. Entahlah, aku
seperti menemukan semangat baruku untuk sembuh. Selama dirumah sakit,
ia selalu menemaniku. Setelah pekerjaannya selesai, ia selalu
menjengukku.
Taylor benar, tak seharusnya aku menyembunyikan ini
semua darinya, kulihat ia merasa tak terbebani dengan selalu
bersamaku. Bahkan ia terlihat lebih bahagia dariku saat kami bersama.
Hanya, saat terakhir ia mencoba melamarku hingga kini ia tak
mencobanya lagi untuk menanyakannya padaku, mungkin masih belum tepat
waktunya.
Akupun juga berfikir demikian, bukannya aku tak ingin
menikah dengannya, aku sangat amat ingin menjadi pendamping hidupnya,
ditambah kini kami saling mengetahui perasaan kami yang sebenarnya
masih sama dengan beberapa tahun yang lalu. Tapi itu karena aku masih
sedikit takut menjadi beban untuknya, dan kondisiku yang bisa
dibilang masih belum bisa lepas dari obat-obatan juga rumah sakit.
Lembar Diary ini telah habis, entahlah padahal tanpa
sengaja, namun seolah telah diatur sedemikian rupa, maka kutinggalkan
benda ini ditempat biasa kuletakkan. Hari ini aku akan pulang ke
Indonesia, negaraku, kampung halamanku. Tapi, hari ini bukanlah hari
terakhir aku dinegara ini, dirumah ini, rumah yang hampir melekat
dindingnya dengan rumah seorang pria yang ku cintai. Niall Horan.
Aku sudah memutuskannya, aku sudah memikirkannya
kembali, bahwa aku akan kembali kenegara ini setelah kakakku sembuh.
Aku akan menemui Niall kembali dan menghabiskan hidupku bersamanya,
dengan begitu aku lebih tenang menghadapi kematianku kelak.
Pagi ini aku juga baru saja mendapat kabar dari ibuku.
Kakakku, akhirnya ia sadarkan diri dari tidur panjangnya, namun satu
hal yang masih mengganjalku tentang keadaannya. Kakakku, dia amnesia.
Apa ia akan lupa denganku juga?
“no, kau pasti tak akan lupa denganku”. Ucapku
tersenyum dihadapan cermin seraya menyisir lembut rambut palsu ini.
“who's?”.
_Sherine pov End_
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 25 ;)

0 comments:
Post a Comment