Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 15}
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
Author: @Fathimah_Haddad , @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome to my Imagination|
Hope you like this guys ;)
~NLS~
_Author pov_
Ku hampiri pintu kamar inap Liam. Lewat kaca pada pintu
tersebut, aku melihat seorang gadis memegang lembut tangan Liam yang
lemas dengan penuh cinta, “setidaknya ia bersama Daniele yang terus
bersamanya”. Batinku. Aku iri padamu, Liam.
“Harry, Lou. Sepertinya Niall ingin memberitahu
sesuatu pada kalian, kuharap setelah mendengarnya, kalian tak sampai
masuk ruang inap menyusul Liam”. Teriak Zayn dari dalam lift,
seolah disini hanya kami berempat yang mendengar teriakannya itu.
“maksudnya?”. Harry meninggalkan kesibukannya dari
dedaunan ditangannya. Fokus menatap mataku.
“ku rasa ini tentang Sherine”. Sahut Louis tepat.
Membuat Harry semakin menajamkan pandangannya padaku, mungkin ia
sudah mengerti maksud Zayn bahwa ini berita buruk baginya tentang
Sherine.
Aku menghampiri kursi dihadapan mereka dan duduk disana.
Aku menatap keduanya yang tak sabar agar aku membuka suara. “apa
aku harus mengatakannya pada kalian?”. Ucapku. Tak kusangka itu
membuat mereka emosi. Mereka mencekikku dan mengacak rambutku.
“kau apakan gadis yang kucintai!”. Teriak Harry
mencekikku. Tidak, tidak benar-benar mencekik, hanya gurauan mereka.
“beraninya kau melukai gadis yang dicintai pria yang
ku cintai, akan kusuruh sekelompok merpati untuk menguburmu
hidup-hidup dengan kotoran mereka!”. Umpat Louis berlebihan.
“guys..guys..! ini dirumah sakit, bisakah kalian
tenang?!”. Omel Paul. Yaampun, kami hampir lupa dengan Liam.
“okay, sekarang katakan pada kami. Ada apa dengan
Sherine?”. Kata Lou, melipat tangannya di depan dadanya, diikuti
Harry yang mengikuti gaya yang sama dengan Louis.
Aku tertawa melihat mereka, namun dengan cepat Louis
menginjak kakiku, dan Harry membungkam mulutku rapat-rapat agar aku
tak teriak. Baik, aku tengah diintrogasi paksa oleh mereka.
“Sherine sudah bertunangan dengan Taylor”. Ucapku to
do point.
“apa?! Tunangan? Bagaimana bisa?”.
“pasti bisa Harr, bukankah mereka saling mencintai”.
Jawabku santai membuat Harry dan Louis terdiam.
“tidak, Niall. Ini tidak mungkin, bagaimana bisa
Sherine melupakanmu secepat itu?”. Lanjut Harry yang kini duduk
disampingku.
“Harry, bukankah sudah ku katakan, Sherine hanya
menyukaiku dan..”.
“itulah yang tak bisa ku percaya sampai saat ini,
Niall. Jika ia hanya menyukaimu bagaimana bisa ia mempertahankan
hubungan kalian selama dua tahun? Kenapa tidak dari dulu-dulu saja ia
bilang bahwa ia hanya menyukaimu”. Potong Harry menelaah. Aku
terdiam, aku juga pernah memikirkan hal yang sama dengannya. Sherine
tak pernah mencintaiku? Lalu apa yang diberikannya selama dua tahun
ini?
“itu mereka”. Sahut Louis saat ia melihat Uncle
Geoff dan Aunty Karen kembali.
Aku dan Harry bangkit, “apa kata dokter?”. Tanya
Paul pada mereka.
“tak terjadi hal yang serius”. Jawab Aunty Karen.
Akhirnya kami bisa bernafas lega, terlihat dari wajah mereka yang
tersenyum tenang bahwa Liam pasti baik-baik saja.
“ginjalnya juga baik-baik saja. Hanya saja kata
dokter, mungkin Liam telah mengkonsumsi makanan yang asing untuk
diproses dalam lambungnya, mungkin ada beberapa makanan yang ia
konsumsi namun tak cocok untuk perutnya, itu saja. Dan Liam hanya
butuh istirahat beberapa hari, selama itu Liam diharuskan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat”. Jelas Uncle Geoff.
“Ini pasti karena Liam kebanyakan makan Sushi dan
minum Sake di Jepang”. Bisik Louis padaku dan Harry.
“baiklah, Mr. Payne. Sebaiknya anda membawa istri anda
pulang untuk istirahat, biar kami yang menjaga Liam bergiliran”.
Saran Paul, disusul anggukan kami bertiga.
_ Niall pov End_
~NLS~
_Author pov_
Selang dua hari setelah Sherine menyuruh Christie untuk
menelfon Taylor, pria itu sampai dirumahnya. Ia memarahi Sherine
kini, melihat ia sudah mengepak hampir semua barang-barangnya. Ia
meminta Sherine agar tidak kembali ke Indonesia untuk sementara
waktu, sampai dirinya sembuh. Sherine tau Taylor begitu inginnya
melihat Sherine untuk sembuh, tapi entah kenapa Sherine merasa tak
ada harapan lagi untuknya hidup.
Sherine tak bisa terus menjalankan 'ritual' itu, mungkin
akan lebih baik jika ia fikir mati tanpa merasakan sakit karena efek
dari 'ritual' itu, ketimbang hanya menambah setengah tahun saja
umurnya namun selama itu ia harus menahan sakit seperti saat ini.
Belum lagi sakit yang sesungguhnya ia rasakan, sakit yang tak akan
pernah bisa terobati, sakit karena telah membohongi pria yang
dicintainya selama ini, Niall Horan.
“kau malah membuat keluargamu semakin terbebani, Sher.
Kini ia tengah di pusingkan oleh kakakmu. Apa jadinya jika ia tau
putrinya yang lain lebih menderita dari itu?”. Ucap Taylor yang
kini menyandar di ambang pintu rumah Sherine.
Taylor mencoba tegas pada Sherine, agar ia tau apa
dampak yang akan ia hadapi nanti jika ia tetap kukuh akan tindakannya
kini.
“tidak, Tay. Aku hanya tidak mengatakan apa-apa pada
mereka tentang penyakit ini, dan semua beres”.
“beres? Sher, mau berapa orang lagi yang akan kau
bohongi?”. Taylor semakin geram menatap Sherine yang berdiri satu
meter darinya kini.
“aku tidak membohongi mereka,Tay. Aku hanya
menutupinya. Tak mau membuat mereka cemas”.
“nah! Kau tau itu tapi kau tetap bersisikukuh untuk
pulang, bagiman jika tiba-tiba kau pingsan seperti biasanya dan
mereka hanya termangun mengetahui ternyata kau juga sakit?”. Sambar
Tay lagi. Ia hanya ingin Sherine sadar bahwa penyakit ini terlalu
bahaya jika tak ada penanganan yang tepat.
Sedangkan Sherine terdiam, ia mulai mencerna tujuan
Taylor menahannya untuk tidak pulang agar mereka yang disana tak
direpotkan olehnya. Mengingat selama ini yang menjaganya adalah
Taylor dan Christie, bagaimana jika ia disana? Siapa yang akan
melakukan penanganan cepat jika tiba-tiba ia down? Tapi kembali lagi
pada tujuan utamanya untuk pulang.
Sherine terlalu memikirkan keadaan Kakaknya yang
terbujur kaku dirumah sakit, ia tak bisa terus disini dan tak
memperdulikannya. Sherine fikir, lagi pula peduli apa dengan
penyakitnya. Ia ingat bahwa ia sudah mantap untuk tidak perduli lagi
akan penyakit itu, berusaha untuk melupakannya. Dan kembali menjadi
Sherine yang tertawa diatas penderitaannya.
Sherine kembali duduk di sofa tepat disampingnya, “sudah
Tay. Aku tak mau mebahas ini lagi. Aku memintamu kembali hanya untuk
pamit padamu. Lagi pula jika aku tetap disini, aku tak bisa
meneruskan pengobatan itu, tabunganku semakin menipis dan aku sudah
tak kuat lagi menahan efek dari 'ritual' itu, aku ingin hidup tanpa
merasakan sakit seperti ini”. Sherine kini menitihkan air matanya,
air mata pertama yang Taylor lihat keluar dari pelupuk mata gadis
itu.
Tentu saja Taylor tersentuh melihatnya. Ia mendekati
Sherine kini, bertekuk lutut dihadapannya, menopang dagu gadis itu
agar ia menatapnya.
“dengar, Sher. Aku bisa membantumu soal biaya itu..”.
“lalu apa kau bisa membatuku melawan rasa sakit ini,
Tay? Tidak!”. Sherine semakin menjadi-jadi, ia menangis dan
membentak pria dihadapannya kini. Sementara Taylor hanya terkejut
melihat keputus asaan Sherine ini akan penderitaan efek dari 'ritual'
yang ia jalani.
“dengar Tay. Takdir kematianku sudah ditentukan
oleh-Nya. Mau aku mati dalam keadaan sakit seperti ini, setidaknya
aku tidak mati dalam keadaan menahan sakit karena 'ritual' itu, tidak
mati dalam keadaan rambut yang habis ini, Tay”.
Taylor yang kini terdiam, ia sadar, setegar-tegarnya
Sherine, gadis itu bisa rapuh dan putus asa juga. Ia begitu keras
akan keputusannya, tak perduli itu keputusan yang benar atau salah.
Taylor mulai menyalahkan dirinya sendiri kini. Mungkin
lebih baik jika dulu ia tetapa mengalah pada gadis ini, tak perlu
memaksa ia melakukan 'ritual' itu sehingga ia tak akan mudah lemah,
tak akan kehilangan fisik kuatnya, jelas pandangannya,
pendengarannya, juga lebat rambutnya.
“aku mohon padamu. Biyarkan aku pulang, dan
menghentikan semua penderitaan ini, aku hanya ingin normal kembali
seperti sebelum aku melakukan 'ritual' itu, aku mohon”.
Kini Taylor berfikir, mungkin ini yang terbaik untuk
Sherine, mungkin inilah saatnya untuk Taylor membuat Sherine lepas
dari beban ini, saatnya ia membuang jauh kemurungannya dan menjemput
senyum bahagianya.
Taylor bangkit, meraih pintu untuk keluar.
“Taylor, aku belum selesai bicara padamu”. Tahan
Sherine yang mengusap bersih air matanya untuk menyusul Taylor
keluar.
Bersamaan dengan keluarnya Sherine, sebuah mobil ranger
raver hitam milik Niall muncul cukup jauh darinya namun menepi di
balik pohon besar. Niall baru saja pulang dari rumah sakit, ia
bersama Paul yang duduk di bagian kemudi, sedangkan Niall duduk
disampingnya. Niall yang menyuruh Paul untuk menepikan mobilnya itu.
Pria itu kini tengah memperhatikan mereka, Sherine
dengan Taylor. Memaksanya untuk melihat apa yang terjadi pada mereka,
walau pendengarannya tak jelas sama sekali apa yang mereka bicarakan.
Taylor berhenti pada anak tangga kedua, berbailk
menghadap Sherine“tidak, kau sudah selesai. Aku akan bicarakan ini
pada Cullen besok, aku akan bilang kau akan berhenti dari pengobatan
ini, dan menerima takdir kematianmu itu”. Ucap Taylor datar.
“Thank You”. Ucap Sherine, dan tak sengaja matanya
menangkap mobil hitam di sebelah timurnya. Dan menduga bahwa mobil
itu sepertinya milik Niall.
“ya, setidaknya aku bisa melihat senyuman terakhirmu
untukku”. Kata Tay bergurau, memancing Sherine agar ia tersenyum
lagi padanya. Karena Sherine begitu yakin itu mobil si blonde bermata
biru, buru-buru ia mengambil kesempatan ini yang lagi-lagi tujuannya
agar Niall yakin bahwa hubungannya dengan Taylor benar.
“dan kau berikan pelukan hangatmu untukku, sebelum
Christie datang. Ayo cepat!”. Sherine merentangkan tangannya dengan
senyum manisnya.
“aku menyayangimu, Sher”. Sahut Taylor seraya
memeluk gadis itu dengan pelukannya.
“hyaa, aku tau”.
Sementara Niall, mencengkram hebat ujung kemejanya.
Seakan ia siap untuk meminta Paul menaikkan gigi pada mobil tersebut,
lalu menancap gas untuk menabrak pria berkulit lebih gelap darinya
itu. Niall tak menyadari sesungguhnya yang ia rasakan itu adalah
kecemburuannya pada Taylor, ia tak menyadari bahwa sesungguhnya ia
hanya membenci Sherine akan kedekatannya dengan Taylor bukan karena
kenyataan yang ia tak tau kebenarannya bahwa Sherine tak
mencintainya.
“Niall? Kau tidak apa-apa?”. Tanya Paul, namun Niall
hanya membisu. Paul masih tak mengerti kenapa pria disampingnya ini
menyuruh untuk menepikan mobil, sementara ia tetap mematung dengan
tatapan lurus dan tajam, tak keluar dari mobilnya.
Taylor melepaskan pelukannya, “baiklah. Besok pagi,
katakan pada gadis yang tidur terlelap didalam, jika ia terlambat
datang, aku tak akan memberikannya sebuah ciuman”.
“siap!”. Singkat Sherine, seraya memberikan 'wink'
padanya.
Taylor masuk ke dalam taksi yang tadi mengantarnya dari
bandara menuju rumah Sherine. Ia membuka jendelanya, “night,
Pricess Nose”. Ucap Tay.
“Night, Doctor Nose”.
Setidaknya, ini lebih baik menurut Taylor. Mungkin untuk
menuruti apa keinginan Sherine itu lebih baik dari pada harus
memaksanya hingga akhirnya justru membuatnya terbebani.
Sherine memberikan lambaian tangannya sampai taksi itu
menghilang, dan benar dugaannya. Mobil di balik pohon itu mendekat
padanya, tidak, tepatnya disamping rumahnya. Pria dengan kemeja
kotak-kotak serta syal yang membungkus lehernya itu keluar dari
mobilnya. Pria itu bersama Paul bodyguard OneDirection, namun pria
bertubuh besar itu langsung pergi dan menyetop taksi yang lewat
dihadapannya.
Sherine yakin pasti blonde panda itu melihat apa yang
dilakukannya, ia berlalu darinya begitu saja. Buru-buru Sherine
menahan Niall saat hendak meraih gagang pintu rumahnya, “Niall”.
Tahan Sherine. Niall pun berhenti. Sherine menghampiri Niall dan
mendekatinya, memberikan senyuman hangat pada pria itu.
“kenapa Paul yang menyetir mobilmu?”. Tanya Sherine.
Bertahan untuk tetap membuat drama dihadapan Niall. Membuat drama
dimana ia yang mengatur semua jalan kisahnya. Seolah ia tak tahu
bahwa Niall melihatnya tadi bersama Taylor. Sementara Niall tak
sedikitpun memandangnya, pria itu hanya melihat sepasang sepatunya
selama gadis itu bicara padanya.
“aku mengantuk, jadi Paul mengantarku”. Jawab Niall
singkat, tak bergairah untuk mengajak gadis itu bicara. Hingga
akhirnya ia memutuskan untuk mengeluarkan kunci rumahnya dan membuka
pintu dibelakangnya.
“kau sibuk?”. Tanya Sherine lagi. Memaksa Niall
kembali menghadapnya dan menjawab pertanyaannya itu
“seperti yang kau lihat, kami sibuk menjaga Liam”.
Ucap Niall setelah berbalik menatap semu ke arah wajah Sherine. Masih
asing ia melihat wajah gadis itu yang terhalang kacamatanya, serta
rambut keritingnya yang menjuntai panjang menutupi telinganya.
Sedangkan Sherine hampir saja ceroboh karena mendengar
kabar yang sama sekali tak diketahuinya. Ia hampir saja mengeluarkan
pergelangan tangannya dari dalam saku mantelnya. Dimana pergelangan
tangan kirinya itu tak terdapat cincin perak yang melingkar di jari
manisnya lagi.
“Liam? Memangnya kenapa dengan Liam?”. Tanya
Sherine, mengernyitkan sepasang matanya.
“lambungnya sedikit bermasalah, tapi sekarang sudah
tidak apa-apa. Mungkin lusa atau besok ia di perbolehkan pulang”.
Jawab Niall yang tak bersemangat.
“apa? Kenapa kau tak mengatakannya padaku, Niall? Dia
temanku juga, kau..”.
“Sher! Berita ini sudah tersebar dimana-mana. Kukira
kau tau itu”. Potong Niall sedikit meninggikan nada suaranya,
membuat Sherine cukup mengerti efek yang terjadi atas perbuatannya
tadi bersama Taylor.
“tapi kenapa kau tak memberitahuku langsung?”. Ucap
Sherine kecewa, karna Niall melupakannya bahwa Liam juga teman
berartinya.
“sudahlah, Sher. Bukankah kau tengah sibuk dengan
tunanganmu itu? tak usah kau mengkhawatirkan Liam. Ada kami”.
Serang Niall lagi.
“Niall! Kau tak perlu emosi, what's wrong with you? Kenapa kau bersikap dingin padaku sekarang?”.
“Niall! Kau tak perlu emosi, what's wrong with you? Kenapa kau bersikap dingin padaku sekarang?”.
'ayo Niall, katakan yang sebenarnya bahwa kau cemburu
atas apa yang kau lihat tadi, dan katakan padaku apa yang terdapat
dalam surat itu, tulisan yang mengatakan bahwa kau berjanji akan
mengatakan bahwa kau mencintaiku secara langsung, tanpa perduli
apakah aku mencintai Taylor atau tidak. Mungkin aku bisa menghambat
kepulanganku jika kau mengatakan itu, Niall'. Batin Sherine
menggebu-gebu.
“kau marah padaku? Apa aku berbuat salah padamu?”.
Lanjut Sherine seolah ia tak menyadari kesalahan terbesarnya pada
Niall.
Sedangkan Niall berusaha tak perduli lagi akan ucapan
Sherine yang membuatnya semakin muak dan sakit, “tidak, lupakan.
Aku hanya lelah..”.
“Niall!”. Bentak Sherine diheningnya malam saat
Niall hendak membuka pintu rumahnya. Bentakan yang seketika membuat
Niall memaksa menghentikan langkahnya untuk masuk kedalam, karna ini
kali pertamanya Sherine membentaknya.
“dua hari lagi aku akan pulang ke Indonesia”. Lanjut
Sherine yang kini kembali melembut. Sherine ingin meminta sesuatu
padanya, sesuatu yang mungkin hanya sekali saja ia dapat sebelum
meninggalkan pria berbehel itu untuk selama-lamanya.
Sempat terkejut pria itu tentang apa yang didengarnya,
tapi Niall malah menduga bahwa kepulangan Sherine karena ingin
memperkenalkan Taylor pada orang tuanya. Berfikir bahwa Sherine hanya
pulang untuk sementara dan akan kembali lagi. Tak tau sama sekali
bahwa sebenarnya Sherine akan meninggalkannya dan tak akan pernah
kembali lagi. Mungkin untuk selama-lamanya...
“mengantar Taylor kepada orang tuamu? Oh ya, selamat,
Sher. Sepertinya kau bergerak cepat. Kau mengajak Taylor ke orang
tuamu untuk melamarmu? Selamat. Aku akan menyampaikan salammu untuk
teman-temanku. Okay, aku benar-benar lelah, Sher. Aku mengantuk.
Bye”. Tuduh Niall panjang lebar dan secepat kilat masuk kedalam
rumahnya. Namun saat Niall menutup pintunya, Sherine menahan pintu
itu dengan kaki kanannya yang terbungkus sneakers yang dipakainya
asal.
“would you go with me... ”. Niall mematung
menatapnya, mencerna apa yang dikatakan Sherine baru saja.
~NLS~
|To Be
Continued|
NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo
ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing
banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO,
jangan cuma baca aja yawh :) If
you want respect, then respect others!
Don't forget to
send ur feedback! Or visit my twitter account @Fathimah_Haddad
and @FathimHaddad501
for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 16 ;)


0 comments:
Post a Comment