Friday, April 12, 2013

#NLS Princess Nose And True Love {Part 6}

Posted by Unknown at 9:13:00 PM

 Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 6}

Author: @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad

Genre: Romantic

Rating: G (General)

Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
          - @SherineCArifa as Sherine Arifa
          - @OfficialTL as Taylor Lautner
          - @christiemburke as Christie burke
          - And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}

Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato



|Welcome to my Imagination|

Hope you like this guys ;)


~NLS~


_Sherine pov_


Diary Princess Nose

'5 November . 09:46 pm.

Besok 'ritual' itu akan dimulai, untuk kedua kalinya setelah beberapa minggu yang lalu kuhentikan untuk mencoba melupakan apa yang terjadi padaku saat ini. Karena 'ritual' itu darah itu keluar dari lubang hidungku, dan tubuhku yang malah melemah serta wajahku yang selalu memucat. Mencoba terlihat segar dengan make up yang selalu tersedia di dalam tasku, make up yang mampu menutupi rahasiaku yang nampak di luar setelah 'ritual' itu, tanpa itu aku tau aku akan terlihat seperti mayat hidup.

Seperti live reportku terakhir, aku tak menggunakan make up ku setebal mungkin, bersamaan dengan keluarnya tetesan itu untuk pertama kalinya setelah aku menghentikan 'ritual' itu beberapa minggu lalu, Taylor bilang itu efeknya dan aku tak boleh menghentikannya, jadi aku harus melakukan 'ritual' itu sesuai prosedur yang ada, tak boleh kuhentikan lagi.

Entah berapa lama aku menjalani 'ritual' itu, yang ku tau ini tak akan bisa membantuku sepenuhnya, hanya menambah waktu hidupku di dunia ini sedikit saja.

Ku harap ini cepat berakhir....

Melihat jam dinding yang menunjukkan angka sepuluh lewat, “ia terlambat lagi”. Decakkuyang ditujukan pada seseorang yang sudah berjanji akan menjemputku hari ini untuk ke tempat 'ritual' itu. Ku tutup diary book ini, kusimpan dalam laci meja samping ranjangku, dan kembali menemukan sebuah map putih, ini bukan pertama kalinya.
 



Setiap aku menyelesaikan tulisan-tulisanku dalam diary itu, aku selalu meletakkannya di dalam laci ini yang didalamnya beralaskan sebuah map putih, map putih pertama yang ku terima dari Taylor Lautner, map yang berisikan malapetaka untukku.

Ku pandangi jendela kamar di hadapanku, teringat kembali memori menyakitkan yang kualami beberapa bulan silam, dimana sang empunya dinding berkaca diseberang sana membuatkanku sesuatu yang paling nikmat yang pernah ku santap seumur hidup, namun aku malah memberikannya balasan yang menyakitkan yang tak ia harapkan dariku.


~NLS~


|Flashback On|


Ribuan butiran-butiran putih kecil jatuh menutup habis atap rumah dan jalan-jalan di sekitar rumah, perapian di ruang tamu yang sudah di tumpuk beberapa kayu yang terbakar tak mampu mengirim kehangatnnya ke kamarku agar melawan dingin yang menusuk hingga ketulangku, tapi tidak dengan tetes demi tetes air yang keluar dari mata ini dengan hangatnya, hingga membuat sebuah map putih berlabel biru muda disudut kanan atasnya, yang berada di genggamanku kini basah oleh titik-titik air tersebut.

Sebuah map yang kudapatkan pagi tadi dari seseorang yang dulu sempat kukagumi sebelum aku mengenal Niall, seseorang yang memberiku kabar buruk pagi tadi bersamaan dengan datangnya map ini dari tangannya. Taylor Lautner, seniorku dulu di Imperial College London, namun kami berbeda jurusan, aku sastra, sedangkan ia kedokteran. Ya.. sekarang ia bekerja di The Princess Grace Hospital, sebuah rumah sakit di Nottingham, London sebagai dokter spesialis kanker.

Kanker? Alangkah mengerikannya bukan mendengar kata yang terdiri dari enam huruf tersebut? ya.. aku mengidap penyakit itu, entah sejak kapan, tapi aku baru mengetahui hal itu pagi tadi, aku tak percaya hanya karena hidungku ini selalu tersumbat hampir setiap minggunya, aku sampai di fonis terkena Kanker Nasofaring?

Terngiang kembali ucapan Taylor pagi tadi, 'ini hasil rontgenmu. Sorry Sher, menurut hasilnya kau positife mengidap Kanker Nasofaring Carsinoma atau yang biasa disebut dengan Kanker Hidung'.

Ingin menangis sesenggukan, menggerang dan berteriak keras namun tak bisa, tak boleh tepatnya. Aku tak mau mataku terlihat bengkak hari ini, karena seseorang akan menemuiku untuk memenuhi janjinya, seseorang yang hampir dua tahun ini mengisi hari-hariku dengan penuh kebahagiaan, kasih sayangnya, juga perhatiannya, Niall Horan. Ya.. dia personel boyband One Direction, tapi aku tak bangga akan titelnya itu, melainkan aku bangga menjadi bagian dari hidupnya selama ini, bagian dari hidup seorang Niall James Horan from Irland.

Niall akan kerumahku hari ini, ia akan memberikan sup buatannya sendiri. Tapi... entah aku bisa memakannya atau tidak, setelah mendengar penjelasan dari Taylor bahwa aku tak boleh lagi memakan makanan panas ataupun hangat, aku harus menunggu makanan itu benar-benar dingin.

Kulirik jendela kamarku yang hampir berdekatan dengan jendela besar ruang tengahnya, teringat akan candanya saat belum genap satu bulan hubungan kami, yang katanya jika ia mampu ia ingin memindahkan kamarnya di ruang tengah tersebut, agar ia bisa tertidur sambil memandangiku lewat perantara jendela yang terhalang tirai tipis itu.

Sesosok pria berambut blonde disebrang jendela kamarku membuyarkan lamunanku akan dua tahun yang lalu, Niall terlihat sibuk mundar-mandir dari dapur ke ruang tengahnya masih dengan celemek yang menutupi tubuh bagian depannya, juga cempal yang membungkus sepasang tangannya. Sebegitu sibuknya hingga ia tak menyadari aku memperhatikannya dari jendela ini.

Niall, apa aku harus memberitahumu tentang ini?”. Ucapku mengangkat map putih yang menggantung di tanganku sedari tadi dan memandanginya.

Apa jika kau tau, kau akan tetap mencintaiku? Atau kau malah memandang jijik padaku? Bagaimana jika aku benar tak punya banyak waktu lagi? Tak punya banyak waktu untuk bersamamu lagi? Tak mampu membuatmu Bahagia, hingga akhirnya itu akan membuatmu sedih, menderita memiliki kekasih yang tak ada gunanya lagi untukmu, tak mampu lagi memberikan cintanya untukmu sepenuhnya, tak mampu memberikan sebagian waktunya karena harus melakukan hal yang lain untuk membuatnya bertahan hidup lebih lama, itupun jika berhasil...

Sherine! Aku bawa sup Irish Stewnya! Kau tau? Aku berhasil membuatnya sendiri!”. Kualihkan kembali pandanganku ke jendela ruang tengahnya, ia tak ada, ternyata ia sudah di rumahku.

Sher? Where are you? Cepatlah aku kelaparan”. Panggilnya lagi karena aku tak mereson panggilan sebelumnya.

Tergesa-gesa aku mengusap sisa tetesan air mata yang menempel di pipi juga di kelopak mataku, dan membersihkan hidungku dengan tissue karena mulai tersumbat kembali.

Benturan pintu kamarku mungkin terdengar olehnya, karena ia sudah berdiri tepat di ujung lorong yang menghubungkan kamarku ke ruang makanku. Dengan semangkuk sup ditangan yang masih terbungkus cempal, karena kepulannya membuktikan bahwa sup itu masih panas.

tadaaa!”. Tepat di hadapan wajahku, ia pamerkan sup buatannya itu. Ingin menangis rasanya saat aku menyadari aku tak bisa merasakan aroma sup tersebut, hanya segores senyuman yang mungkin mampu menutupi hal itu darinya

Niall menyingkirkan mangkuk supnya dari hadapanku, lalu meletakkannya di meja makan yang tak jauh dari kami berdiri, “Babe? Mata dan hidungmu merah, kau flu lagi?”. Tak kusadari ia memperhatikan wajahku sedari tadi, Niall memang sudah tau persis tentang hidungku yang selalu tersumbat setiap bulannya, bahkan hampir setiap minggunya, dan hari ini aku flu lagi, tapi bukan itu penyebab utama yang mebuat hidung dan mataku memerah Niall...

apa aku harus menjawabnya?”. Ucapku tersenyum tipis padanya.

what's that?”. Niall menyudutkan matanya ke tangan kiriku. Bodoh Sherine! Kenapa sampai lupa untuk meletakkan benda ini?! Buru-buru ku sembunyikan dari pandangannya, takut ia sampai membaca apa yang terdapat pada lebel map putih ini, label bertuliskan The Princess Grace Hospital.

tidak, bukan apa-apa. Hanya map biasa yang baru ku beli”. Jawabku. Inikah kebohongan pertamaku padamu, Niall?

untuk apa?”.

Aku lebih memilih untuk berbalik dan kembali kekamar, masih mengatakan hal yang sama bahwa map ini hanya map biasa, “sudahlah, hanya map biasa. Tak usah dibahas”. Tak mau sampai ia merembet kepertanyaan lain hingga memaksaku harus berbohong lagi padanya.

kau tak pernah memeriksakannya?”. Tanya Niall untuk kesekian kalinya di setiap penyakit itu datang padaku, tapi aku tak pernah bosan dengan pertanyaan itu, itu membuatku merasa bahwa aku diberikan perhatian lebih darinya.

Tapi, jika ia tau yang sebenarnya, bahwa flu ku ini ternyata adalah salah satu gejala dari kanker hidung, takut ia akan semakin mengkhawatirkanku, aku takut masa kejayaan yang ia nikmati saat ini sebagai bagian dari One Directionnya akan ternoda oleh fikirannya yang selalu memusingkan keadaanku, kebahagiaanya akan terusik dengan kondisiku saat ini yang tak bisa menjamin kebahagiannya kelak.

sudah pagi tadi, dan dokter bilang hanya penyakit keturunan, hhaha.. aneh bukan? Sudahlah, mana supnya?”. Ucapku memberikan senyum lembut padanya seolah benar aku baik-baik saja, tak terjadi sesuatu yang parah.

Maaf Niall aku harus berbohong padamu, aku tak mau melihatmu memandangku dengan perasaan kasihan karena mengetahui kondisiku yang menyedihkan saat ini, aku takut jika kau mengetahui keadaanku yang sesungguhnya kau akan mencintaiku bukan karena dasar cinta lagi, melainkan rasa kasihan padaku.

Ku hampiri sup yang ia letakkan di meja tadi,






dan duduk di hadapan mangkuk yang masih mengepul itu, “hmm.. Inikah Irish Stew yang kau bilang? Kau bisa membuatnya sendiri? Aku tak percaya”. Untuk sejenak kulupakan tentang kanker itu, mencoba masuk kedalam raut kebahagiaan Niall yang telah berhasil membuat sup asal negaranya sendiri, tak perduli akan pantangan yang dikatakan Tay padaku pagi tadi.

sudaah jangan banyak bicara, cepat kau coba, jika kau bilang enak, maka aku akan menghabiskannya”. Ia menyusul duduk di hadapanku. Aku tau ia pencinta makanan, kapanpun, dimanapun, apapun itu, siapapun yang membuatnya, dari manapun asal makanan itu yang menurutnya enak ia akan melahapnya sendiri. Aku sendiri juga tak bisa bayangkan jika ia hidup sehari saja tanpa makanan, mungkin ia bisa gila.

aahh... Ku kira kau memberikannya untukku, jadi kau hanya ingin aku menyicipinya saja?”. Ku poutkan bibirku sebal, karena dugaanku benar ia akan menghabiskannya sendiri.

Ia memberikan sendok padaku, “well, karena aku baik hati, kita akan menghabiskannya berdua, okay?”. Ucapnya, bibirku mentransformasikannya menjadi senyum yang sumringai dan mulai menghirup sup itu, aku tau ini tak boleh kusantap dalam keadaan tidak benar-benar dingin, tapi aku tak perduli jika apapun itu adalah pemberian darinya, “ummmmm.. Niall! kau pintar memasak juga rupanya”. Ucapku setelah mencicipi sup Irish Stew buatannya itu yang benar-benar enak dan gurih, namun terasa sedikit kesulitan aku untuk menelannya, tapi tak kutampakkan itu lewat raut wajahku, kusembunyikan rasa sakit itu.

Dengan antusias ia menyusulku merendam sendoknya kedalam mangkuk, “hhaha.. ini pertama kalinya aku masak, bodoh! Jadi kalau memang enak itu bukan karena aku pintar memasak, tapi karena sudah takdirnya, kau tau?”. Ucapnya lagi-lagi membuatku mempoutkan bibir ini.

terserah kau saja!... eh! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu”. Ku hentikan santapanku, meletakkan sendokku disamping mangkuk.

what?”.

Sungguh tak ada keberanian sebenarnya aku untuk mengatakan ini padanya. Tapi aku harus bisa, aku harus mencari alasan agar hubungan kami berakhir sampai disini. Tapi bukan karena aku tak mencintainya lagi. Niall.. aku masih mencintaimu, aku sungguh masih mencintaimu, justru karena rasa cintaku ini aku tak bisa membiarkanmu memberikan cintamu padaku lagi, pada seseorang yang tak bisa menjanjikanmu sebuah kebahagiaan dalam latar cinta sejati. Ya.. cinta sejati, aku harus membiarkanmu mencari cinta sejati, cinta sejatimu, dan itu... bukanlah aku..

Semoga ini yang terbaik untuk kita, Niall..

Ku raih tangan kirinya, menggenggamnya dengan lembut, seolah ini genggaman terkhirku untuknya, kutatap lembut paras wajah yang memiliki sepasang bola mata biru nan indah itu. Menarik nafas dalam-dalam agar aku mendapat kekuatan untuk mengatakan ini, “Niall, sahabat kedengarannya lebih bagus untuk hubungan kita...”. Mencoba merasa setenang mungkin mengatakan hal itu, seakan aku sungguh-sungguh mengharapkan hal itu. Sedangkan wajahnya sangat terlihat jelas perubahan senyum sumringainya menjadi sebaris garis bibir yang tak berarti apa-apa.

Kuteruskan kembali kalimatku, walaupun harus merasakan begitu teririsnya aku mengatur kata demi kata didalam kepela ini agar keluar dari mulutku dengan santainya, “hmm.. kau tau? Kurasa kita lebih terlihat sebagai sahabat, bukan sepasang kekasih”. Selesai sudah kata-kata itu keluar dari kepalaku, tolong jangan paksa aku memberikan alasannya Niall, aku sudah tak tahan lagi untuk mengatur kalimat-kalimat menyakitkan itu kembali keluar dari bibirku ini yang rupanya kau anggap paling manis seumur hidupmu Niall.

Niall mulai mengulur tangannya dari genggamanku, melipatnya didepan dadanya, memberikan tatapan sinis padaku, seakan tak terima dengan pernyataanku barusan, “why? Kenapa kau bicara seperti ini?”. Ia mulai meminta penjelasanku, ini yang dari awal tak kusiapkan, apa yang harus kujawab?

aku merasa bahwa aku hanya sekedar suka padamu”. Ya Tuhan, apa yang baru saja kukatakan? Cukup Sher, jangan kau bohongi Niall lagi, sudah cukup, jangan kau sakiti dia!

hah.. atas dasar apa kau bicara seperti itu?”. Ia kembali menatapku nanar, kucoba alihkan pandangannya itu dengan mengikat rambut hitamku yang sedari tadi terurai, dan tetap memasang raut wajah kebohongan bahwa memang aku menginginkan hal itu terjadi.

tidak untuk apa-apa, hanya saja aku ingin membiarkanmu mencari cinta yang benar-benar sejati untukmu, dan itu bukan aku”. Mencoba serelax mungkin menjawab yang kali ini memang jujur adanya.

Ia sudah nampak tak tahan lagi akan ucapanku, namun aku tetap seolah tak menyadari akan hal itu, “begitupun denganku, kau bukanlah cinta sejatiku, Niall”. Lanjutku. Rasa sesak dalam dada ini semakin terasa tercabik-cabik. Mata ini mulai memanas, siap untuk mengluarkan butiran-butiran beningnya air mata, berusaha sekuat tenaga agar air itu tak keluar, atau bahkan menampakkan dirinya, mengintip dunia lewat kelopak mata ini.

Niall hanya terdiam setelah ku selesaikan kalimatku tadi, hening, ia terlihat berfikir dan mencerna ucapanku tadi, yang mungkin ia akan menduga bahwa selama ini aku tak pernah mencintainya, mencintainya hanya sebagai sahabat.

dengar, kita akan mencari cinta sejati itu, kau dan aku, akan menemukan cinta sejati masing-masing, okay?”. Bak melakukan sayembara, siapa yang menemukan cinta sejatinya lebih dulu, ialah yang menang.

Aku bangkit, mencari alasan lain agar bisa menghindar darinya sekarang juga, mencari suatu tempat yang tak menampakkan keberadaannya, karena aku sudah tak mampu lagi menahan perih ini yang disalurkannya lewat air mata, “umm.. niall, aku harus keloteng, mengambil tumpukan sampah dan barang-barang bekas yang harus kubuang, kau tunggu di...”.

no, aku juga harus pulang, ada show ku bersama The boys tiga jam lagi, dan aku belum mandi”. Potongnya, dan tanpa basa-basi lagi ia meninggalkan ruang makan. Dari nada suaranya yang datar itu membuatku mengerti bahawa ia tak menyukai apa yang terjadi hari ini, ia kecewa, padaku.

Aku tertunduk menatap sup Irish Stew yang sudah dingin ini, “Niall, supnya?”. Tahanku saat ia belum sempat menggenggam gagang pintu rumahku, tanpa berbalik sedikitpun untuk menatapku ia menjawab, “aku sudah kenyang, kau habiskan saja, kau suka kan? Kapan-kapan saja kau pulangkan mangkuknya”. Jawaban yang bodoh. Apa ia tak tau aku sangat mengenalnya, dalam sejarahnya, mana pernah ia menolak untuk menghabiskan makanya, lagi pula tadi ia bilang ia lapar. Dan itu cukup membuatku mengerti bahwa artinya... ia kecewa padaku.

Niall, wait!”. Tahanku lagi. “friendship?”. Tanyaku mencoba meyakinkannya lagi bahwa inilah yang aku mau.

friendship”. Jawabnya, yang sekali lagi tak mau menatapku, dan secepat kilat lenyap tertelan pintu itu. Jawaban yang sebenarnya tak kuinginkan, apa ia akan benar-benar berhenti mencintaiku? Apa ia memang sudah tak mencintaiku? Atau kata-kataku hari ini yang membuatnya berfikir untuk apa melanjutkan hubungan ini lagi jika aku tak mencintainya? Maafkan aku Niall...

Kukunci pintu rumahku, berbalik dan duduk bersandar disana, membiarkan yang menggenang sedari tadi di kelopak mata ini jatuh membasahi pipi sampai sweaterku ini. Menangis terisak-isak, menyesali yang terjadi hari ini, menyesali karena telah melukai perasaannya, menyesali telah membohonginya, menyesal.. haruskah kuterima rasa penyesalan ini?





maafkan aku, Niall.. hikss.. hiiks.. hhhu..hhuu.. a.. hiks.. aku.. tak tau.. hiks.. hikss.. aku tak tau harus bagaimana lagiiiihhiks.. aku tak mau kau terus mencintaikuuuuhhuuhuuu.. hiks..hiks.. mencintai gadis yang hidupnya tak akan laaama laagii.. hikkss hiks.. maafkan aku..hh .. maafkan aku..”. Ucapku tak kuasa menahannya didalam hati ini jadi kukeluarkan semua, menangis terisak-isak, bahkan sampai menutup rapat bibir ini dengan tanganku agar mampu berteriak sekuat yang aku bisa, tanpa terdengar oleh siapapun. Termasuk Niall.







~NLS~




|To Be Continued|


NB: Ekhm! maaf sebelumnya, author mau minta maaf kalo ceritanya ga nyambung, ga jelas, atau aneh, banyak typo dan garing banget. kayaknya sih gitu_- maafmaafmaaf >.<

DON'T BE SILENT READER!! kalo reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO, jangan cuma baca aja yawh :) If you want respect, then respect others!


Don't forget to send ur feedback! Or visit my twitter account @FathimHaddad501  for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di part 7 ;)

0 comments:

Post a Comment

 

My Imagination Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea