Title: #NLS “Princess Nose And True Love” {Part 6}
Author: @FathimHaddad501 aka Syarifah Fathimah AlHaddad
Genre: Romantic
Rating: G (General)
Cast: - @NiallOfficial as Niall Horan
- @SherineCArifa as Sherine Arifa
- @OfficialTL as Taylor Lautner
- @christiemburke as Christie burke
- And other boys of @OneDiretion {Louis, Zayn, Liam, and Harry}
Cameo: - @ddlovato as Demi Lovato
|Welcome to my
Imagination|
Hope you like this guys
;)
~NLS~
_Sherine pov_
Diary
Princess Nose
'5 November . 09:46 pm.
Besok 'ritual' itu akan dimulai, untuk kedua kalinya
setelah beberapa minggu yang lalu kuhentikan untuk mencoba melupakan
apa yang terjadi padaku saat ini. Karena 'ritual' itu darah itu
keluar dari lubang hidungku, dan tubuhku yang malah melemah serta
wajahku yang selalu memucat. Mencoba terlihat segar dengan make up
yang selalu tersedia di dalam tasku, make up yang mampu menutupi
rahasiaku yang nampak di luar setelah 'ritual' itu, tanpa itu aku tau
aku akan terlihat seperti mayat hidup.
Seperti live reportku terakhir, aku tak menggunakan
make up ku setebal mungkin, bersamaan dengan keluarnya tetesan itu
untuk pertama kalinya setelah aku menghentikan 'ritual' itu beberapa
minggu lalu, Taylor bilang itu efeknya dan aku tak boleh
menghentikannya, jadi aku harus melakukan 'ritual' itu sesuai
prosedur yang ada, tak boleh kuhentikan lagi.
Entah berapa lama aku menjalani 'ritual' itu, yang ku
tau ini tak akan bisa membantuku sepenuhnya, hanya menambah waktu
hidupku di dunia ini sedikit saja.
Ku harap ini cepat berakhir....
Melihat jam dinding yang menunjukkan angka sepuluh
lewat, “ia terlambat lagi”. Decakkuyang ditujukan pada seseorang
yang sudah berjanji akan menjemputku hari ini untuk ke tempat
'ritual' itu. Ku tutup diary book ini, kusimpan dalam laci meja
samping ranjangku, dan kembali menemukan sebuah map putih, ini bukan
pertama kalinya.
Setiap aku menyelesaikan tulisan-tulisanku dalam diary
itu, aku selalu meletakkannya di dalam laci ini yang didalamnya
beralaskan sebuah map putih, map putih pertama yang ku terima dari
Taylor Lautner, map yang berisikan malapetaka untukku.
Ku pandangi jendela kamar di hadapanku, teringat kembali
memori menyakitkan yang kualami beberapa bulan silam, dimana sang
empunya dinding berkaca diseberang sana membuatkanku sesuatu yang
paling nikmat yang pernah ku santap seumur hidup, namun aku malah
memberikannya balasan yang menyakitkan yang tak ia harapkan dariku.
~NLS~
|Flashback
On|
Ribuan
butiran-butiran putih kecil jatuh menutup habis atap rumah dan
jalan-jalan di sekitar rumah, perapian di ruang tamu yang sudah di
tumpuk beberapa kayu yang terbakar tak mampu mengirim kehangatnnya ke
kamarku agar melawan dingin yang menusuk hingga ketulangku, tapi
tidak dengan tetes demi tetes air yang keluar dari mata ini dengan
hangatnya, hingga membuat sebuah map putih berlabel biru muda disudut
kanan atasnya, yang berada di genggamanku kini basah oleh titik-titik
air tersebut.
Sebuah
map yang kudapatkan pagi tadi dari seseorang yang dulu sempat
kukagumi sebelum aku mengenal Niall, seseorang yang memberiku kabar
buruk pagi tadi bersamaan dengan datangnya map ini dari tangannya.
Taylor Lautner, seniorku dulu di Imperial College London, namun kami
berbeda jurusan, aku sastra, sedangkan ia kedokteran. Ya.. sekarang
ia bekerja di The Princess Grace Hospital, sebuah rumah sakit di
Nottingham, London sebagai dokter spesialis kanker.
Kanker?
Alangkah mengerikannya bukan mendengar kata yang terdiri dari enam
huruf tersebut? ya.. aku mengidap penyakit itu, entah sejak kapan,
tapi aku baru mengetahui hal itu pagi tadi, aku tak percaya hanya
karena hidungku ini selalu tersumbat hampir setiap minggunya, aku
sampai di fonis terkena Kanker Nasofaring?
Terngiang
kembali ucapan Taylor pagi tadi, 'ini hasil rontgenmu.
Sorry Sher, menurut hasilnya kau positife mengidap Kanker Nasofaring
Carsinoma atau yang biasa disebut dengan Kanker Hidung'.
Ingin
menangis sesenggukan, menggerang dan berteriak keras namun tak bisa,
tak boleh tepatnya. Aku tak mau mataku terlihat bengkak hari ini,
karena seseorang akan menemuiku untuk memenuhi janjinya, seseorang
yang hampir dua tahun ini mengisi hari-hariku dengan penuh
kebahagiaan, kasih sayangnya, juga perhatiannya, Niall Horan. Ya..
dia personel boyband One Direction, tapi aku tak bangga akan titelnya
itu, melainkan aku bangga menjadi bagian dari hidupnya selama ini,
bagian dari hidup seorang Niall James Horan from Irland.
Niall
akan kerumahku hari ini, ia akan memberikan sup buatannya sendiri.
Tapi... entah aku bisa memakannya atau tidak, setelah mendengar
penjelasan dari Taylor bahwa aku tak boleh lagi memakan makanan panas
ataupun hangat, aku harus menunggu makanan itu benar-benar dingin.
Kulirik
jendela kamarku yang hampir berdekatan dengan jendela besar ruang
tengahnya, teringat akan candanya saat belum genap satu bulan
hubungan kami, yang katanya jika ia mampu ia ingin memindahkan
kamarnya di ruang tengah tersebut, agar ia bisa tertidur sambil
memandangiku lewat perantara jendela yang terhalang tirai tipis itu.
Sesosok
pria berambut blonde disebrang jendela kamarku membuyarkan lamunanku
akan dua tahun yang lalu, Niall terlihat sibuk mundar-mandir dari
dapur ke ruang tengahnya masih dengan celemek yang menutupi tubuh
bagian depannya, juga cempal yang membungkus sepasang tangannya.
Sebegitu sibuknya hingga ia tak menyadari aku memperhatikannya dari
jendela ini.
“Niall,
apa aku harus memberitahumu tentang ini?”. Ucapku mengangkat map
putih yang menggantung di tanganku sedari tadi dan memandanginya.
Apa
jika kau tau, kau akan tetap mencintaiku? Atau kau malah memandang
jijik padaku? Bagaimana jika aku benar tak punya banyak waktu lagi?
Tak punya banyak waktu untuk bersamamu lagi? Tak mampu membuatmu
Bahagia, hingga akhirnya itu akan membuatmu sedih, menderita memiliki
kekasih yang tak ada gunanya lagi untukmu, tak mampu lagi memberikan
cintanya untukmu sepenuhnya, tak mampu memberikan sebagian waktunya
karena harus melakukan hal yang lain untuk membuatnya bertahan hidup
lebih lama, itupun jika berhasil...
“Sherine!
Aku bawa sup Irish Stewnya! Kau tau? Aku berhasil membuatnya
sendiri!”. Kualihkan kembali pandanganku ke jendela ruang
tengahnya, ia tak ada, ternyata ia sudah di rumahku.
“Sher?
Where are you? Cepatlah aku kelaparan”. Panggilnya lagi karena aku
tak mereson panggilan sebelumnya.
Tergesa-gesa
aku mengusap sisa tetesan air mata yang menempel di pipi juga di
kelopak mataku, dan membersihkan hidungku dengan tissue karena mulai
tersumbat kembali.
Benturan
pintu kamarku mungkin terdengar olehnya, karena ia sudah berdiri
tepat di ujung lorong yang menghubungkan kamarku ke ruang makanku.
Dengan semangkuk sup ditangan yang masih terbungkus cempal, karena
kepulannya membuktikan bahwa sup itu masih panas.
“tadaaa!”.
Tepat di hadapan wajahku, ia pamerkan sup buatannya itu. Ingin
menangis rasanya saat aku menyadari aku tak bisa merasakan aroma sup
tersebut, hanya segores senyuman yang mungkin mampu menutupi hal itu
darinya
Niall
menyingkirkan mangkuk supnya dari hadapanku, lalu meletakkannya di
meja makan yang tak jauh dari kami berdiri, “Babe? Mata dan
hidungmu merah, kau flu lagi?”. Tak kusadari ia memperhatikan
wajahku sedari tadi, Niall memang sudah tau persis tentang hidungku
yang selalu tersumbat setiap bulannya, bahkan hampir setiap
minggunya, dan hari ini aku flu lagi, tapi bukan itu penyebab utama
yang mebuat hidung dan mataku memerah Niall...
“apa
aku harus menjawabnya?”. Ucapku tersenyum tipis padanya.
“what's
that?”. Niall menyudutkan matanya ke tangan kiriku. Bodoh Sherine!
Kenapa sampai lupa untuk meletakkan benda ini?! Buru-buru ku
sembunyikan dari pandangannya, takut ia sampai membaca apa yang
terdapat pada lebel map putih ini, label bertuliskan The Princess
Grace Hospital.
“tidak,
bukan apa-apa. Hanya map biasa yang baru ku beli”. Jawabku. Inikah
kebohongan pertamaku padamu, Niall?
“untuk
apa?”.
Aku
lebih memilih untuk berbalik dan kembali kekamar, masih mengatakan
hal yang sama bahwa map ini hanya map biasa, “sudahlah, hanya map
biasa. Tak usah dibahas”. Tak mau sampai ia merembet kepertanyaan
lain hingga memaksaku harus berbohong lagi padanya.
“kau
tak pernah memeriksakannya?”. Tanya Niall untuk kesekian kalinya di
setiap penyakit itu datang padaku, tapi aku tak pernah bosan dengan
pertanyaan itu, itu membuatku merasa bahwa aku diberikan perhatian
lebih darinya.
Tapi,
jika ia tau yang sebenarnya, bahwa flu ku ini ternyata adalah salah
satu gejala dari kanker hidung, takut ia akan semakin
mengkhawatirkanku, aku takut masa kejayaan yang ia nikmati saat ini
sebagai bagian dari One Directionnya akan ternoda oleh fikirannya
yang selalu memusingkan keadaanku, kebahagiaanya akan terusik dengan
kondisiku saat ini yang tak bisa menjamin kebahagiannya kelak.
“sudah
pagi tadi, dan dokter bilang hanya penyakit keturunan, hhaha.. aneh
bukan? Sudahlah, mana supnya?”. Ucapku memberikan senyum lembut
padanya seolah benar aku baik-baik saja, tak terjadi sesuatu yang
parah.
Maaf
Niall aku harus berbohong padamu, aku tak mau melihatmu memandangku
dengan perasaan kasihan karena mengetahui kondisiku yang menyedihkan
saat ini, aku takut jika kau mengetahui keadaanku yang sesungguhnya
kau akan mencintaiku bukan karena dasar cinta lagi, melainkan rasa
kasihan padaku.
Ku
hampiri sup yang ia letakkan di meja tadi,
dan
duduk di hadapan mangkuk yang masih mengepul itu, “hmm.. Inikah
Irish Stew yang kau bilang? Kau bisa membuatnya sendiri? Aku tak
percaya”. Untuk sejenak kulupakan tentang kanker itu, mencoba masuk
kedalam raut kebahagiaan Niall yang telah berhasil membuat sup asal
negaranya sendiri, tak perduli akan pantangan yang dikatakan Tay
padaku pagi tadi.
“sudaah
jangan banyak bicara, cepat kau coba, jika kau bilang enak, maka aku
akan menghabiskannya”. Ia menyusul duduk di hadapanku. Aku tau ia
pencinta makanan, kapanpun, dimanapun, apapun itu, siapapun yang
membuatnya, dari manapun asal makanan itu yang menurutnya enak ia
akan melahapnya sendiri. Aku sendiri juga tak bisa bayangkan jika ia
hidup sehari saja tanpa makanan, mungkin ia bisa gila.
“aahh...
Ku kira kau memberikannya untukku, jadi kau hanya ingin aku
menyicipinya saja?”. Ku poutkan bibirku sebal, karena dugaanku
benar ia akan menghabiskannya sendiri.
Ia
memberikan sendok padaku, “well, karena aku baik hati, kita akan
menghabiskannya berdua, okay?”. Ucapnya, bibirku
mentransformasikannya menjadi senyum yang sumringai dan mulai
menghirup sup itu, aku tau ini tak boleh kusantap dalam keadaan tidak
benar-benar dingin, tapi aku tak perduli jika apapun itu adalah
pemberian darinya, “ummmmm.. Niall! kau pintar memasak juga
rupanya”. Ucapku setelah mencicipi sup Irish Stew buatannya itu
yang benar-benar enak dan gurih, namun terasa sedikit kesulitan aku
untuk menelannya, tapi tak kutampakkan itu lewat raut wajahku,
kusembunyikan rasa sakit itu.
Dengan
antusias ia menyusulku merendam sendoknya kedalam mangkuk, “hhaha..
ini pertama kalinya aku masak, bodoh! Jadi kalau memang enak itu
bukan karena aku pintar memasak, tapi karena sudah takdirnya, kau
tau?”. Ucapnya lagi-lagi membuatku mempoutkan bibir ini.
“terserah
kau saja!... eh! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu”. Ku hentikan
santapanku, meletakkan sendokku disamping mangkuk.
“what?”.
Sungguh
tak ada keberanian sebenarnya aku untuk mengatakan ini padanya. Tapi
aku harus bisa, aku harus mencari alasan agar hubungan kami berakhir
sampai disini. Tapi bukan karena aku tak mencintainya lagi. Niall..
aku masih mencintaimu, aku sungguh masih mencintaimu, justru karena
rasa cintaku ini aku tak bisa membiarkanmu memberikan cintamu padaku
lagi, pada seseorang yang tak bisa menjanjikanmu sebuah kebahagiaan
dalam latar cinta sejati. Ya.. cinta sejati, aku harus membiarkanmu
mencari cinta sejati, cinta sejatimu, dan itu... bukanlah aku..
Semoga
ini yang terbaik untuk kita, Niall..
Ku
raih tangan kirinya, menggenggamnya dengan lembut, seolah ini
genggaman terkhirku untuknya, kutatap lembut paras wajah yang
memiliki sepasang bola mata biru nan indah itu. Menarik nafas
dalam-dalam agar aku mendapat kekuatan untuk mengatakan ini, “Niall,
sahabat kedengarannya lebih bagus untuk hubungan kita...”. Mencoba
merasa setenang mungkin mengatakan hal itu, seakan aku
sungguh-sungguh mengharapkan hal itu. Sedangkan wajahnya sangat
terlihat jelas perubahan senyum sumringainya menjadi sebaris garis
bibir yang tak berarti apa-apa.
Kuteruskan
kembali kalimatku, walaupun harus merasakan begitu teririsnya aku
mengatur kata demi kata didalam kepela ini agar keluar dari mulutku
dengan santainya, “hmm.. kau tau? Kurasa kita lebih terlihat
sebagai sahabat, bukan sepasang kekasih”. Selesai sudah kata-kata
itu keluar dari kepalaku, tolong jangan paksa aku memberikan
alasannya Niall, aku sudah tak tahan lagi untuk mengatur
kalimat-kalimat menyakitkan itu kembali keluar dari bibirku ini yang
rupanya kau anggap paling manis seumur hidupmu Niall.
Niall
mulai mengulur tangannya dari genggamanku, melipatnya didepan
dadanya, memberikan tatapan sinis padaku, seakan tak terima dengan
pernyataanku barusan, “why? Kenapa kau bicara seperti ini?”. Ia
mulai meminta penjelasanku, ini yang dari awal tak kusiapkan, apa
yang harus kujawab?
“aku
merasa bahwa aku hanya sekedar suka padamu”. Ya Tuhan, apa yang
baru saja kukatakan? Cukup Sher, jangan kau bohongi Niall lagi, sudah
cukup, jangan kau sakiti dia!
“hah..
atas dasar apa kau bicara seperti itu?”. Ia kembali menatapku
nanar, kucoba alihkan pandangannya itu dengan mengikat rambut hitamku
yang sedari tadi terurai, dan tetap memasang raut wajah kebohongan
bahwa memang aku menginginkan hal itu terjadi.
“tidak
untuk apa-apa, hanya saja aku ingin membiarkanmu mencari cinta yang
benar-benar sejati untukmu, dan itu bukan aku”. Mencoba serelax
mungkin menjawab yang kali ini memang jujur adanya.
Ia
sudah nampak tak tahan lagi akan ucapanku, namun aku tetap seolah tak
menyadari akan hal itu, “begitupun denganku, kau bukanlah cinta
sejatiku, Niall”. Lanjutku. Rasa sesak dalam dada ini semakin
terasa tercabik-cabik. Mata ini mulai memanas, siap untuk mengluarkan
butiran-butiran beningnya air mata, berusaha sekuat tenaga agar air
itu tak keluar, atau bahkan menampakkan dirinya, mengintip dunia
lewat kelopak mata ini.
Niall
hanya terdiam setelah ku selesaikan kalimatku tadi, hening, ia
terlihat berfikir dan mencerna ucapanku tadi, yang mungkin ia akan
menduga bahwa selama ini aku tak pernah mencintainya, mencintainya
hanya sebagai sahabat.
“dengar,
kita akan mencari cinta sejati itu, kau dan aku, akan menemukan cinta
sejati masing-masing, okay?”. Bak melakukan sayembara, siapa yang
menemukan cinta sejatinya lebih dulu, ialah yang menang.
Aku
bangkit, mencari alasan lain agar bisa menghindar darinya sekarang
juga, mencari suatu tempat yang tak menampakkan keberadaannya, karena
aku sudah tak mampu lagi menahan perih ini yang disalurkannya lewat
air mata, “umm.. niall, aku harus keloteng, mengambil tumpukan
sampah dan barang-barang bekas yang harus kubuang, kau tunggu di...”.
“no,
aku juga harus pulang, ada show ku bersama The boys tiga jam lagi,
dan aku belum mandi”. Potongnya, dan tanpa basa-basi lagi ia
meninggalkan ruang makan. Dari nada suaranya yang datar itu membuatku
mengerti bahawa ia tak menyukai apa yang terjadi hari ini, ia kecewa,
padaku.
Aku
tertunduk menatap sup Irish Stew yang sudah dingin ini, “Niall,
supnya?”. Tahanku saat ia belum sempat menggenggam gagang pintu
rumahku, tanpa berbalik sedikitpun untuk menatapku ia menjawab, “aku
sudah kenyang, kau habiskan saja, kau suka kan? Kapan-kapan saja kau
pulangkan mangkuknya”. Jawaban yang bodoh. Apa ia tak tau aku
sangat mengenalnya, dalam sejarahnya, mana pernah ia menolak untuk
menghabiskan makanya, lagi pula tadi ia bilang ia lapar. Dan itu
cukup membuatku mengerti bahwa artinya... ia kecewa padaku.
“Niall,
wait!”. Tahanku lagi. “friendship?”. Tanyaku mencoba
meyakinkannya lagi bahwa inilah yang aku mau.
“friendship”.
Jawabnya, yang sekali lagi tak mau menatapku, dan secepat kilat
lenyap tertelan pintu itu. Jawaban yang sebenarnya tak kuinginkan,
apa ia akan benar-benar berhenti mencintaiku? Apa ia memang sudah tak
mencintaiku? Atau kata-kataku hari ini yang membuatnya berfikir untuk
apa melanjutkan hubungan ini lagi jika aku tak mencintainya? Maafkan
aku Niall...
Kukunci
pintu rumahku, berbalik dan duduk bersandar disana, membiarkan yang
menggenang sedari tadi di kelopak mata ini jatuh membasahi pipi
sampai sweaterku ini. Menangis terisak-isak, menyesali yang terjadi
hari ini, menyesali karena telah melukai perasaannya, menyesali telah
membohonginya, menyesal.. haruskah kuterima rasa penyesalan ini?
“maafkan
aku, Niall.. hikss.. hiiks.. hhhu..hhuu.. a.. hiks.. aku.. tak tau..
hiks.. hikss.. aku tak tau harus bagaimana lagiiiihhiks.. aku tak mau
kau terus mencintaikuuuuhhuuhuuu.. hiks..hiks.. mencintai gadis yang
hidupnya tak akan laaama laagii.. hikkss hiks.. maafkan aku..hh ..
maafkan aku..”. Ucapku tak kuasa menahannya didalam hati ini jadi
kukeluarkan semua, menangis terisak-isak, bahkan sampai menutup rapat
bibir ini dengan tanganku agar mampu berteriak sekuat yang aku bisa,
tanpa terdengar oleh siapapun. Termasuk Niall.
~NLS~
|To Be
Continued|
DON'T BE SILENT READER!! kalo
reader aku sih ga ada yang diem aja, mereka udah pasti ngasih
feedbacknya apapun itu karena mereka menghargai karya orang ;) SO, jangan cuma baca aja yawh :) If you want respect, then respect others!
Don't forget to send ur feedback! Or visit my twitter account @FathimHaddad501 for send your comment. Thank's :) Sampe ketemu di
part 7 ;)




0 comments:
Post a Comment